Daftar Blog Saya

Jumat, 21 Januari 2011

RAHASIA BUTON

PERJANJIAN RAHASIA INTERNASIONAL DiATAS KAPAL BELANDA KAREL DORMAN TAHUN 1948 ANTARA UTUSAN RATU BELANDA WELHELMINA, UTUSAN SOEKARNO DAN SULTAN BUTON

Oleh : Ali Habiu

Kisah ini (folklour) merupakan cerita yang beredar dikalangan tertentu masyarakat Buton dan penulis dapatkan dari DR (HC) La Ode Unga Wathullah, seorang penganut Tassauf, Pengkaji Filsafat dan Budaya Buton pada tahun 1976 lalu di Makassar. Cerita ini muncul ketika kami sedang menonton acara Televisi Republik Indonesia yakni masuknya bantuan Belanda ke Indonesia melalui organisasi IGGI. Dia mengatakan bahwa pada tahun 1948 diperairan pulau Buton telah dilakukan perjanjian rahasia internasional di atas Kapal Karel Dorman antara utusan khusus Ratu Belanda Welhelmina dengan utusan khusus Presiden Soekarno dan Sultan Buton Falihi atau Oputa Yii ba'dhia. Khusus utusan khusus Presiden Soekarno adalah seorang jenderal bisu. Dikatakan bisu karena selama turun dari Kapal Belanda Karel Dorman di Bau-Bau menemui Sultan Buton Falihi di Istana Kesultanan Buton, dia sama sekali tidak mau buka suara, namun hanya memberikan senyuman dan sekali-sekali muka memandangi ke atas dan kebawah. Kisah perjanjian rahasia ini hingga saat ini belum dipublikasikan dan hanya diketahui oleh kalangan tertentu para petinggi dan kerabat dekat kesultanan Buton. Dia mengatakan bahwa utusan Presiden Soekarno tersebut adalah orang Buton yang tinggal di jakarta dari kesatuan TNI yang sampai sekarang tidak jelas namanya, demikian pula utusan khusus Ratu Wilhelmina juga sampai saat ini belum jelas namanya.
Ketika menjelang akhir kekuasaan Ratu Belanda Welhelmina tanggal 4 September 1948, sebelum dia menyerahkan pucuk kekuasaannya kepada anak tunggalnya yang bernama Putri Juliana, dia mengingat kembali akan janjinya kepada leluhurnya di Buton. Disaat-saat perang berkecamuk antara tentara Belanda dan para pejuang kemerdekaan di pulau Jawa, maka Ratu Welhelmina memerintahkan orang kepercayaannya untuk segera diusahakan melakukan perjanjian dengan Presiden Soekarno dan Sultan Buton Falihi yang berlangsung secara rahasia di atas kapal Karel Dorman, dimana Soekarno menunjuk seorang jenderal bisu untuk mewakilinya.
Adapun isi perjanjian rahasia yang berlangsung di atas kapal Karel Dorman tahun 1948 meliputi :

  1. Pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda. Simbol janji berupa : pengakuan harus dilakukan di Belanda antara utusan Presiden Soekarno dan utusan kerajaan Belanda.
  2. Pengakuan kedaulatan irian Barat sebagai daerah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia. Simbol janji, berupa : sepasang kambing warna putih laki-laki dan perempuan.
  3. Pengakuan akan membangun negeri Buton menjadi suatu negeri yang penuh cahaya (negeri makmur dan sentosa). Simbol janji, berupa : tiga buah alat janji (dalam tulisan ini tidak disebutkan)
Sebagai bukti atas telah diadakannya perjanjian rahasia di atas kapal Karel Dorman tersebut, setelah Sultan Falihi turun ke darat dan kembali ke Keraton Buton, dia ditemani seorang Belanda dengan membawa Lantera berupa lampu gantung dengan jumlah lampu 12 mata dan setibanya di Keraton Buton Lantera tersebut langsung digantung di dalam Mesjid Keraton Buton tepat di flapon tengah-tengah mesjid tersebut yang disaksikan oleh Sultan Buton Falihi dan para petinggi Istana Kesultanan Buton sebagai pertanda simbolik lambang pesan bahwa Belanda mempunyai utang dengan negeri Buton yang suatu saat nanti akan dibayarnya dengan membangun negeri Buton penuh kemegahan (negeri penuh cahaya).
Setahun kemudian sesudah dilakukan ketiga perjanjian ini, satu diantaranya telah dipenuhi oleh Belanda, yakni pengakuan kedaulatan negara Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag negeri Belanda pada tanggal 23 Agustus 1949 s/d 2 November 1949. Dalam KMB tersebut kecuali penyerahan Irian Barat belum diberikan kepada Indonesia masih menjadi wilayah dibawah kekuasaan Hindia Belanda karena sesuatu pertimbangan politik sampai situasi dan kondisi memungkinkan barulah diberikan kepada Indonesia. Sedangkan pembangunan negeri Buton yang akan dilakukan oleh Belanda sebagai "negeri penuh cahaya" masih menunggu masa yang ditentukan.
   
        La Ode Unga Wathullah meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 2006 di Jakarta dalam usia 90 tahun, satu lagi putra asli negeri Buton terbaik yang selama hidupnya bergelut sebagai pencinta Filsafat dan Budaya Buton meninggalkan kita semua. Semoga amal baktinya diterima disisi Allah Subhana Wata'ala, amin.

Hasil Konferensi Meja Bundar
Adapun hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus 1949 s/d 2 November 1949 secara lengkap sebagai berikut :
  1. Seterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua Barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua Barat negara terpisah karena perbedaan ethnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Oleh karena itu, pasal 2 menyebutkan bahwa Papua Barat bukan bagian dari serah terima ini, bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
  2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan Monarch Belanda sebagai Kepala Negara.
  3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat sebesar 4,3 milyar gulden.
Substansi Penahanan Irian Barat (Papua Barat) dalam KMB...
Bila kita mau mengamati lebih jauh substansial politik dibalik mengapa Irian Barat ketika pelaksanaan KMB belum juga serta merta diserahkan oleh Belanda ke dalam daerah kekuasaan Indonesia, karena pada dasarnya Belanda sebetulnya bermaksud baik kepada Indonesia supaya disuatu saat yang tepat Irian Barat betul-betul masuk dalam kekuasaan Indonesia tanpa ada halangan satupun dari pihak-pihak lain. Perlu diketahui bahwa New Guinea atau Irian Timur jauh jauh hari sebelum pelaksanaan KMB di Den Haag Belanda sudah menjadi wilayah koloni Australia yang sudah sejak lama menginginkan Irian Barat masuk dalam wilayah kolono kekuasaannya. Pada konteksi demikian, Indonesia sangat beresiko bila masalah memperebutkan dan/atau mempertahankan kedaulatan Irian Barat ini dari kepentingan Australia seandainya saat itu juga Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepangkuan Negara Indonesia. Mengapa demikian, karena angkatan perang Australia ketika itu cukup kuat karena mereka dibantu oleh sekutunya Amerika Serikat dan Inggeris yang juga punya minat untuk menguasai Indonesia.
Niat imperialisme Amerika Serikat kepada Indonesia untuk mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber strategis yang dimiliki oleh seluruh wilayah kepulauan di Indonesia sudah diperlihatkan sejak memauki awal abad IX lalu.

Kondisi strategis Indonesia di saat itu telah Amerika Serikat perhitungkan sebagai Negara terkaya nomor lima terbesar di Dunia dibidang sumber-sumber daya alam. Selain sebagai produsen minyak yang nomor lima terbesar, Indonesia juga mempunyai cadangan-cadangan sumber daya alam berupa : timah, galena, bauksit, emas, perak, mangan, berlian, fosfat, nikel, tembaga, besi dan dibidang botani berupa : karet, kopi, minyak kelapa sawit, tembakau, gula, kelapa, rempah-rempah, kayu, kina yang memiliki potensi yang sangat besar.
Pada tahun 1939 yang pada waktu itu pemerinatah Belanda di Indonesia masih dipanggil West Indies Belanda, telah memasok lebih dari separoh dari total komsumsi bahan mentah yang penting bagi Amerika Serikat. Oleh karena itu Amerika Serikat sangat hati-hati dalam melakukan peranannya di kawasan Asia Tenggara agar tidak sampai mengganggu hegemoni politiknya terhadap Indonesia.
Dengan kondisi demikian itu, Hindia Belanda sangat tahu keadaan ini, sehingga setelah Kemedekaan Bangsa Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda tetap membuat strategi bagi kelanggengan kekuasaannya di Indonesia melalui politik pecah belah dengan maksud agar tidak memberi peluang bagi masuknya Amerika Serikat dan sekutunya untuk menguasai seluruh potensi sumber daya alam yang terdapat di seluruh kawasan wilayah Indonesia sampai Belanda memperkirakan Indonesia telah mempunyai suatu kekuatan ekonomi, politik, pemerintahan dan pertahanan agar mampu mempertahankan diri sendiri dari serangan Amerika Serikat dan sekutunya dalam rangka mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.

Upaya Perebutan Irian Barat oleh Tentara Indonesia...
Setelah Bung Karno melaksanakan Dekrit 5 Juli 1959 kemudian dilanjutkan dengan Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 tentang Penemuan Kembali Revolusi Indonesia.
Dengan memperhitungkan kekuatan-kekuatan Revolusi dan Jiwa semangat rakyat berupa :

  • Pertama. UUD-1945 dan jiwa Revolusi 1945
  • Kedua. Hasil dari pada segala pikiran dan keringat rakyat sejak tahun 1945 hingga sekarang,
  • Ketiga. Makin bertumbunya kekuatan ekonomi yang menjadi milik nasional yang sudah melputi 70% dari seluruh kekuatan ekonomi yang berada di Indonesia,
  • Keempat. Angkatan perang yang makin lama semakin kuta dan administrasi pemerintahan semakin lama semakin baik,
  • Kelima. wilalay kesatuan Republik Indonesia yang kompak unitaristis dan amat luas dan yang letaknya amat strategis dalam politik dan ekonomi dunia serta jumlah rakyat sudah mencapai 88 juta orang.
  • Keenam. Kepercayaan dan keuletan bangsa sendiri yang sudah dibuktikan di zaman yang lampau.
  • Ketujuh. Kekayaan alam, kekayaan di atas dan kekayaan di dalam bumi tak ada bandingnya di seluruh dunia ini dan tak ada tandingnya didelapan penjuru angin.
Berdasarkan ketujuh kekuatan revolusi Indonesia itu disusunlah rencana untuk melawan Imperialisme Belanda di Irian Barat (Papua Barat). Dalam Manifesto Politik jelas dikatakan ; bahwa kita melawan imperialisme Belanda karena imperialisme ini menjajah Irian Barat. Jelas juga dikatakan bahwa pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat adalah suatu langkah strategis yang amat penting sekali. Tetapi belum semua modal Belanda diambil alih, belum semua perusahaan milik Belanda dinasionalisir, padahal sikap Belanda untuk Irian Barat tetap membandel. Jika mereka dalam persoalan klaim nasional kita, tetap berkepala batu, maka semua modal Belanda, termasuk yang berada di perusahaan-perusahaan campuran akan habis tamat riwayatnya sama sekali di "bumi Indonesia".
Bersamaan dengan semangat penemuan kembali Revolusi Indonesia, mulai tanggal 19 Desember 1961 bertempat di Jogyakarta, Presiden Soekarno mengeluarkan suatu komando yang dikenal dengan nama Tri Komando Rakyat (TRIKORA), dengan tuntutan sebagai berikut :
  1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua Belanda Kolonial,
  2. Kibarkan bendera Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia,
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum dalam rangka memprtahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Sebagai langkah awal, tanggal 2 Januari 1962 dibentuklah Komando Operasi Mandala yang bertugas sebagai perencanaan operasi militer ke Irian Barat, dan pada tahun 1963 Irian Barat dikuasai oleh Indonesia. Dalam konteks pengarahan kekuatan militer melalui komando TRIKORA yang dikumandangkan tahun 1963 inilah membuat ambigius rencana imperialisme Amerika Serikat dan sekutunya ke Indonesia semakin melorot dan sudah tidak berani lagi.

Alat janji di Bawah ke Irian Barat...
Pada fase infiltrasi akhir tahun 1962, Presiden Soekarno memanggil seorang putra asli Buton dari asal desa Liya kepulauan Wang-Wangi yang terletak dibagian timur pulau Buton. Dia bernama La Ode Madhimuru yang diperintahkan oleh Soekarno untuk segera membawa alat janji Belanda, sesuai dengan kesepakatan pada butir dua perjanjian rahasia di atas Kapal Karel Dorman tahun 1948 tersebut, yaitu berupa 1 ekor kambing laki-laki warna putih dan 1 ekor kambing perempuan warna putih.  kedua kambing inilah yang diperintahkan oleh Presiden Soekarno kepada La Ode Madhimuru untuk segera membwanya dari jakarta menuju maluku. Dengan menumpang kapal perang, La Ode Madhimuru membawa kedua ekor kambing tersebut dan setibanya di Maluku, dia turun dikawasan pulau Aru perbatasan Irian Barat. Dari kepualaun inilah La Ode Madhimuru serta dibantu oleh masyarakat lokal dengan menggunakan keahliannya dia bisa menghilang secara ghaib dan kebal tidak bisa dimakan senjata api, dia membawa dua ekor kambing putih tersebut masuk ke wilayah Irian Barat tanpa bisa diteteksi oleh radar atau intelijen Belanda dan langsung menyusup kedalam kantor pembesar Belanda (controler). Tepat pada fase serangan terbuka awal tahun 1963, La Ode madhimuru melepas sepasang kambing putih laki-laki dan perempuan di depan kantor pembesar Belanda (controler) di Irian Barat dan seketika depan kantor mulai ribut menyaksikan dua ekor kambing tersebut lalu pembesar Belanda (controler) keluar melihat langsung sepasang kambing putih tersebut dan alangkah terkejutnya sang pembesar itu. Sang pembesar Belanda itu telah melihat alat janji yang telah disepakati di atas kapal Karel Dorman dan langsung memanggil semua penasehatnya dan mengatakan :

..."Tammatlah sudah kekuasaan kita..., janji kita sudah ditagih oleh Buton..., kita sudah harus melepaskan Irian Barat kepangkuan Bangsa Indonesia..."
 
Akhirnya pembesar Belanda tersebut memerintahkan kepada semua angkatan perangnya untuk tidak lagi membuat perlawanan kepada serangan tentara Indonesia di Irian Barat dan mulai saat itu mempersiapkan penarikan pasukan angkatan perang mereka untuk secara bertahap kembali ke Belanda. 

Demikianlah cerita ini dikisahkan langsung oleh La Ode Madhimuru kepada penulis blog ini di rumahnya ketika penulis berkunjung di Bandung pada tahun 1987 lalu dalam rangka sesuatu urusan penulis untuk integrasi di Institut Tekhnologi Bandung. La Ode Madhimuru, memiliki 3 orang istri dan terakhir bekerja sebagai kepala sekurity pada kantor cabang Bank Indonesia Bandung dan telah meninggal dunia pada tahun 1993 dalam usia 83 tahun. satu lagi putra asli daerah Buton kesayangan Soekarno meninggalkan kita semua, semoga semua amal kebaikannya dalam mengorbankan diri untuk mendapatkan Irian Barat masuk dalam kesatuan negara Republik Indonesia senantiasa mendapat rodho dari sang pencipta, amin.

Buton Negeri Penuh Cahaya...
Tinggal satu perjanjian lagi yang ditunggu-tunggu dan dinantikan oleh segenap para tetua, para sara, para sesepuh, keturunan, pewaris masyarakat negeri Buton yang mengetahui kisah rahasia ini, yakni berupa janji Belanda untuk memakmurkan Buton (wolio) menjadi sebuah negeri penuh cahaya. Bisa kita bayangkan..., negeri macam apa nantinya Buton ini bila janji Belanda ini sustu saat nanti dapat dipenuhinya; bisa dibilang mungkin negeri Buton merupakan negeri paling makmur di kawasan Asia bahkan dunia sekalipun. Kata leluhur.., hitung-hitung harta pulau Buton masih jauh lebih banyak dari pada Brunai Darussalam. 

Dalam bahasa Buton (bahasa Liya) disebutkan : Tesara nuwolio kumonta janji uwalanda ;..."mbeae amosio adosa uwalanda kua sara wolio hitu tapi aharta usiwulukano ara aka nobangune atogo nu wolio (butuni) no dhumari uwana umanusia ucahaya". (artinya : tidak akan habis utang Belanda kepada negeri Buton sebanyak tujuh lapis keturunannya jika mereka belum membangun negeri Wolio (Buton) menjadi negeri makmur sentosa atau negeri penuh cahaya).

Dari mana Belanda mendapatkan sumber dana untuk membiayai negeri Buton?. Tentu tak lain adalah dari sumber daya alam yang dimiliki oleh pulau Buton itu sendiri. Pada tahun 1768 telah dilakukan pengukuran geologi potensi sumber daya mineral pulau Buton oleh ahli dari Belanda dimana hasil pemetaan pengukuran ini ada tersimpan di Leiden Belanda. Semua harta yang terpendam didalam tanah pulau Buton sesuai dengan kesepakatan masa lampau hanya dapat digarap oleh Belanda dan Cina Tibet pada orang-orang tertentu yang memiliki simbol kode yang dapat dilihat langsung pada pelipisnya.

Oleh karena itu, sudah tibalah saat yang dinanti-nantikan itu, dengan waktu tidak begitu lama lagi Insya Allah, atas izin dan ridho tuhan yang mana esa, sang hieng widi, batara guru, janji Belanda ini akan segera terwujud, dengan melalui tanda-tanda alam secara simbolik berupa :"matahari bersinar warna hijau". 

 Sudah saatnya para pemuka adat Buton untuk merapatkan barisan..., perkuat sistem adatmu..., tegakkan sistem saramu..., tegakkan kembali adat Butuni mautil jam'ah!. Mulailah persiapkan alat-alat janji yang ketiga itu, sebab mungkin tidak lama lagi meraka Belanda datang beserta bangsa-bangsa lain membawa amanah janji yang diiringi oleh 12 bendera bangsa-bangsa di dunia sesuai dengan jumlah mata lampu pada Lantera yang tergantung dalam flapond tengah-tengah mesjid Keraton Buton yang bisa kita jumpai saat ini, dengan syarat harus sara wolio mampu memperlihatkan simbolisasi 3 buah janji yang sudah disepakati di atas kapal Karel Dorman tersebut. Oleh karena itu pada akhirnya saat ini seluruh kekuatan masyarakat Buton harus segera mendesak pemerintah daerah untuk segera bentuk Lembaga Adat Buton beserta intrumennya serta segera bentuk kembali susunan Sa'ra sehingga buton bisa kembali bangkit dengan budayanya. Bila perlu sinyal-sinyal ini pemerintah daerah segera bergaining untuk mengusulkan ke pemerintah pusat agar wilayah Keraton Wolia dan sekitarnya dijadikan Daerah Khusus Istimewa, kertan hanya dengan demikian kita memiliki legitimasi untuk menopang eksistensi Lembaga Adat dan sistem Sarana Wolio. Dalam kaitan ini mengingat konstelasi kejayaan kebutonan hingga saat ini belum ada satupun pemimpin (para Bupati, para Wali Kota) yang mampu mengangkat hal itu, maka sudah saatnya dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Buton masa bakti 2011-2016, pilihlah pemimpin yang memiliki potensi yang bisa merubah wajah Buton kembali jaya sesuai zamannya.

Pada akhirnya akan timbul pertanyaan : ..."Benarkah semua kisah ini?. ...Benarkah bahwa pada tahun 1948 pernah dilakukan perjanjian rahasia di atas Kapal Karel Dorman antara Sultan Buton, Utusan Presiden Soekarno dan Utusan Ratu Wilhelmina?. ..."Benarkah bahwa masuknya Belanda aabad XVI di Indonesia atas permintaan Sultan Buton atas pemerintahan Kerajaan Belanda, dengan mempertimbangkan bahwa para kerajaan besar yang terdapat di pulau Jawa seperti : Majapahit, Air Langga, Singosari, Mataram dlsb tidak mampu merpersatukan wilayah nusantara dari sabang sampai marauke secara utuh?. ..."Benarkah Soekarno itu masih berdarah Buton, sehingga dia selalu ada ikatan emosional dengan Sultan Buton?. 

Olehnya itu untuk menguak fakta-fakta akurat dibalik makna substansi kisah ini, masih diperlukan penelitian lebih lanjut secara mendalam yang dilakukan oleh para ahli antropologi budaya, para arkiologis, para sejarawan dan para sosiologi kontemporer.  Hasil penelitian diharapkan dapat mengungkapkan tabir kisah ini, sehingga masyarakat Indonesia dan masyarakat Internasional dapat mengetahui kebesaran pulau Buton pada zamannya.****

Rabu, 19 Januari 2011

PRESIDEN PERTAMA REPUBLIK INDONESIA "SOEKARNO" BERDARAH ASLI ASAL PULAU BUTON

Oleh : Ali Habiu

Presiden Soekarno

Kisah biografi Soekarno sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia versi yang berkembang dikalangan tertentu golongan para bangsawan buton dan Mmasyarakat dalam lingkungan tertentu di pulau Buton mengatakan bahwa Soekarno merupakan ayah biologis dari seorang bangsawan dari lingkungan istana kesultanan Buton yang karena sesuatu kekecewaan tidak terpilih menjadi sultan, dia mengasingkan diri di pulau Bali. Menurut La Ode Abdul Rasyid anak dari salah seorang Kapitanlau Loji yang saat ini bekerja sebagai  staf  bagian personalia Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Sulawesi Tenggara menyebutkan bahwa ayah biologis Soekarno itu bernama La Ode Muhammad Idris yang tak lain merupakan cucu dari Kinipulu Bula. Hal ini didasarkan atas riwayat keluarga Kapitalau Loji mengetahui bahwa cucu Kinipulu Bula dari asal keturunan mereka bernama La Ode Muhammad Idris pernah kawin di pulau Bali namun sejauh ini belum ada pihak keluarga menelusuri lebih jauh eksistensi perkawinan tersebut. Demikian pula kisah ini pernah dikemukakan oleh DR (HC) La Ode Unga Wathullah di Makassar sekitar tahun 1980-an kepada penulis bahwa Soekarno itu merupakan orang Buton yang lahir di Bali dan karena sesuatu perasaan dendam dengan Buton, dia telah berjanji untuk tidak sama sekali menginjakkan kakinya di pulau Buton, kecuali bila ada urusan dan keperluan ketika semasa perjuangan persiapan kemerdekaan Indonesia dengan sultan Buton maka dia sempatkan bertemu dengan sultan Buton di Benteng Port Rotterdam Makassar. Untuk memperjelas sedikit kisah ini, pada hari Jumat Kliwon tanggal 13 November 2009 penulis sengaja berkunjung kerumah Bapak La Ode Moane Oba tinggal disamping jalan Bunga Kana Kendari, dia salah seorang Tim Kerja penyusunan sejarah Oputa Yikoo atau sultan Himayatudin yang merupakan sultan ke-20 dari susunan kesultanan Buton untuk mengusulkan ke Pemerintah Republik Indonesia agar mendapat gelar kepahlawanan atas perjuangannya melawan Belanda pada tanggal 24 Februari 1755,  mengatakan bahwa pada sekitar bulan Juli 2007 lalu pernah dia didatangi bertandan kerumahnya oleh kerabat dekat yang masih hubungan keluarga, yakni salah seorang pengurus DPP Hanura pusat yang bernama  Dr.La Ode Supri Asadi atau sering dipanggil Dr. Upi yang tak lain merupakan anak pertama dari La Ode Asadi (almarhum) yang pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Muna Sulawesi Tenggara. Dia datang khusus ke rumahnya untuk menceritakan asal muasal Sokarno.  
Dr. Upi mengatakan bahwa pada tahun 1970-an di Jakarta pernah  ayahnya diceritakan oleh guru Ali (nama panggilan) adalah seorang guru pada Sekolah Dasar Lawele Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara, yang mana dia lari meninggalkan pulau Buton menuju Jakarta ketika terjadi move peristiwa tahun 1969 tentang issue Partai Komunis Indonesia di pulau Buton yang dikumandangi oleh Letkol Arifin Sugiyanto. Dikatakan dengan sangat yakin tanpa ragu-ragu bahwa Soekarno itu merupakan orang Buton. Untuk mengecek kebenaran kisah ini maka sekitar pertengahan tahun 1970-an di Jakarta guru Ali melalui perantara La Ode Asadi dipertemukan dengan La Ode Muhammad Tooha. Dan selanjutnya La Ode Muhammad Tooha (Lakina Kumbewaha) mengantar langsung guru Ali ke rumah kediaman Sukmawati Soekarno Putri. Setelah ketemu dan melakukan konfirmasi masalah kisah tersebut dengan Sukmawati Soekarno Putri yang merupakan anak ke-empat dari  Presiden Republik Indonesia Pertama Soekarno dari ibunya bernama Fatmawati, maka seketika itu juga Sukmawati Soekarno Putri mengatakan bahwa :…pernah Bapak (Soekarno) menceritakan kepada mereka (sekeluarga) bahwa kakeknya adalah seorang haji yang tinggal di pulau Buton”… “Dan mereka akui bahwa nenek mereka itu berasal dari pulau Buton”

Sukmawati Soekarno Putri
Dan setelah mengatakan itu semua, Sukmawati menambahkan bahwa Soekarno melarang lagi mereka semua untuk mengingat itu semua dengan alasan bahwa mereka sudah tinggal dan besar di pulau Jawa. Berdasarkan informasi ini, La Ode Muhammad Tooha dan guru Ali mengadakan penyelidikan dan konfirmasi sejarah, maka setelah didapat titik terang maka disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan seorang haji adalah haji Pada. Namun demikian penafsiran haji Pada dimaksud belum bisa dibuktikan secara epistemologis, mengingat bahwa orang-orang sakti pada zamannya di pulau Buton yang memiliki gelar haji dimana mereka dapat pulang pergi hanya sekejap mata di atas sajadah sudah dapat menghilang dan muncul begitu saja di tanah Mekkah bukan saja haji Pada tapi juga bisa Saidi Rabba atau Kinipulu Bula yang dikenal dengan nama Syech Haji La Ode Ganiyu. Setelah penulis mendengarkan cerita tersebut, lantas seketika penulis terkesima dan mengatakan bahwa yang dimaksud Sukmawati Soekarno Putri tersebut bahwa neneknya seorang haji dari pulau Buton yang benar adalah Syech haji La Ode Ganiyu. Dan La Ode Moane Oba yang sedang menceritakan kisah ini kepada penulis terkesima mendengarkan penjelasan saya dan mengatakan bahwa mungkin itu benar!?. Penulis ceritakan kepada La Ode Moane Oba bahwa pada tahun 1981 sampai 1982 lalu di Makassar pernah terjadi hampir selama tiga bulan berturut-turut setiap habis selesai shalat Magrib, penulis masuk duduk di ranjang (tempat tidur) dan secara ghaib langsung ditemani oleh Soekarno untuk berdialog dan sekaligus diajarkan tentang ilmu Negara dan Ketatanegaraan Indonesia. Selang waktu dialog pengajaran berlangsung antara 15 sampai 25 menit, selama proses dialog napas penulis terasa sesak dan agak berat, namun dialog cukup berjalan lancer. Kejadian semua ini atas perkenan dan izin Allah Subhana Wata’ala. Dia (Soekarno) memperkenalkan kepada penulis bahwa ghaib yang mengikuti dirinya atau roh yang sering menemani dirinya adalah Kinipulu Bula. Kinipulu Bula dikalangan petinggi kesultanan Buton dikenal dengan nama Syech haji La Ode Ganiyu, orang ini tergolong manusia langkah asal keturunan para wali di pulau Buton dan selama hidupnya pernah menjadi imam masjidil haram di Mekkah selama 7 tahun berturut-turut dan pernah menjadi dosen tamu atau dosen luar biasa pada Universitas Al zhar Mesir dan disana pernah menulis sebuah buku yang sangat terkenal berjudul” “AJONGA INDAMALUSA”. Buku ini pada zamannya sangat digemari oleh para golongan tassauf dikalangan bangsa arab dan sayang sekali buku ini tidak bisa dijumpai di Indonesia dan sekarang ini sudah hilang di perpustakaan Universitas Al Azhar kecuali tinggal katalognya.




 Soekarno Ikut Kehebatan Siapa...!

Dalam kisah terbatas dikalangan masyarakat tertentu pulau Buton, dikisahkan bahwa ayah biologis Soekarno itu yakni Laode Muhammad Idris yang tak lain adalah cucu dari Syech Haji La Ode Ganiyu merupakan orang yang disegani dikalangan petinggi kesultanan Buton karena dia disamping ahli kanuk ragan, juga dia ahli perang, ahli sejarah dan budaya, ahli kebatinan juga ahli agama. Ketika terjadi peristiwa pemilihan calon Sultan Buton ke-33, dia sangat kecewa atas proses pemilihan sultan karena menurutnya mestinya dialah sebagai sultan Buton ke-33, namun ketika itu dia dihianati oleh kelompok petinggi dari Ba’dia, Keraton/Wajo. Dia juga semenjak pertengahan tahun 1800 sudah tidak menyenangi sistem Sa’ra yang dijalankan dalam lingkungan keratin Buton karena hanya dimonopoli oleh kelompok-kelompok tertentu dari kalangan asal Ba’dia dan Keraton. Sebagai akibat dari kekecewaannya itu, Pada tahun 1898 dia melarikan diri dan mengasingkan diri ke pulau Bali tepatnya di Buleleng dengan pergi meninggalkan pulau Buton ikut dengan kapal perahu pedagang (sope-sope) membawa hasil-hasil laut pulau Buton.  Dipermukiman dipesisir pantai Buleleng pulau Bali ketika itu banyak dihuni oleh orang-orang Buton para saudagar perahu dan pedagang dan tinggal disana. Disalah satu tempat saudagar itulah ayah biologis Soekarno yang bernama La Ode Muhammad Idris tinggal sementara sambil menenangkan dirinya akibat dari kekecewaannya atas penghianatan yang diterima oleh kelompok petinggi asal Ba’dia, Keraton/Wajo sehingga dia tidak terpilih menjadi sultan ke-33 Buton dan sangat tidak suka dengan sistem Sa’ra yang dijalankan dalam lingkungan Keraton Buton.
Dalam pengasingannya di Buleleng Bali, dia sering setiap waktu melihat anak gadis dengan paras cantik merupakan anak petinggi Kerajaan yang bernama Nyoman Pesek. Rupanya anak gadis dengan paras cantik ini bernama Ida Ayu Nyoman Rai dengan nama panggilan Srimben yang merupakan anak kedua Nyoman Pesek dengan ibunya bernama Ni Made Liran. Maka selang beberapa waktu, diapun memberanikan diri untuk menghadap ayah anak gadis cantik tersebut yang tak lain bernama Nyoman Rai Srimben atau Ida Ayu Nyoman Rai dan sekaligus mengemukakan hajatnya untuk melamar anak gadis tersebut. Ayah anak gadis tersebut sangat marah ada orang berani melamar anak gadisnya tanpa dia ketahui asal muasal keturunannya. Sang ayahpun berkata : “kok kamu beraninya melamar anak saya sendiri!, kamu dari keturunan mana?. Dia mengatakan bahwa saya suka anak Bapak dan mau jadikan istri…, Saya dari Buton, asal keturunan bangsawan Buton!. Ayah Ida Ayu Nyoman Rai tak percaya, dan sang ayah mengatakan mana tanda-tanda yang bisa meyakinkan bahwa kamu adalah orang dari asal Bangsawan Buton?. Karena dia ditolak, maka diapun pulang kembali keperkampungan nelayan di Buleleng sambil berpikir apa yang mesti dia lakukan agar sang ayah bisa percaya dia bahwa dia adalah anak Bangsawan dari Buton. Karena dia (La Ode Muhammad Idris) adalah juga memiliki garis keturunan para wali, maka diapun dengan mudah mendapat petunjuk ghaib untuk meyakinkan ayah dari Ida Ayu Nyoman Rai tersebut. Maka beberapa hari kemudian dibawahnya keris pusaka sakti (To'bo) pulau Buton berkepala burung dan langsung kembali menuju kediaman  Nyoman Rai Srimben untuk menemui Nyoman Pesek dalam meyakinkan bahwa dia adalah keturunan bangsawan pulau Buton. Dan setelah ketemu dengan sang ayah, maka diperlihatkanlah keris sakti pusaka leluhurnya dari pulau Buton dan alangkah kagetnya sang ayah melihat keris tersebut sama seperti keris yang sering dibawah oleh sultan Buton bila sedang ada acara pertemuan antar kerajaan baik dilakukan di pulau Bali maupun di Makassar. Dan seketika itu juga sang ayah sangat yakin dan mengatakan bahwa saya percaya kamu adalah keturunan bangsawan pulau Buton.
Dalam kisah singkatnya, maka kawinlah La Ode Muhammad Idris dengan Ida Ayu Nyoman Rai dan tak lama kemudian lahirlah Soekarno kecil di Buleleng pulau Bali (6 Juni 1901). Namun masa kebahagiaan mereka hanya berlangsung singkat selama lebih kurang tiga tahun lamanya. Kemudian karena sesuatu hal penting terjadi masalah perselisihan antar golongan bangsawan di Pemerintahan Kesultanan Buton antara tahun 1911 sampai 1914, maka ketika itu diutuslah petinggi khusus istana untuk pergi mencari sekaligus menjemput La Ode Muhammad Idris karena hanya dengan keahliannya dapat menyelesaikan perselisihan antar golongan yang terjadi tersebut. Maka pulanglah ayah biologis Soekarno yang diperkirakan usia Soekarno kecil baru menginjak tiga tahunan. Selama La Ode Muhammad Idris meninggalkan Buleleng Bali kembali ke pulau Buton tak ada kabar berita juga tidak menafkahi lahir dan bathin Ida Ayu Nyoman Rai. Maka diapun hidup sendiri membesarkan Soekarno kecil hingga usia Soekarno menginjak lima tahunan. Waktupun berjalan,  Ida Ayu Nyoman Rai  melalui perantara sahabat dekatnya bernama Made Lestari memperkenalkan dia dengan seorang guru bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo. Dan selanjutnya bapak ini menaruh hati dan jatuh cinta dengan Ida Ayu Nyoman  Rai  lalu dibawah larilah ibu Soekarno kecil itu ke Surabaya yang hampir saja menimbulkan pertumpahan darah akibat dari persitiwa ini. Dan Raden Soekemi inilah yang pada akhirnya menjadi ayah Soekarno dan yang telah membesarkannya sebagaimana diriwayatkan dalam lembaran sejarah Indonesia.
Dalam pemaparan kisah ini walaupun masih dalam diskripsi primordial dalam konteks ontologis, namun diharapkan ada pihak-pihak yang dapat menindaklanjuti secara aksiologis untuk menelitinya secara konprehensif. Oleh karena itu masih diperlukan penelitian mendalam lebih lanjut yang dilakukan oleh para ahli sosiologis kontemporer, para ahli sejarah dan budaya, para ahli ethonologis sehingga diharapkan dapat menguak tabir dibalik kisah ini sekaligus dapat memberikan diskripsi sejarah Indonesia yang benar mengenai asal muasal keturunan Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia agar masyarakat Indonesia dapat mengetahui kebesaran pulau Buton pada zamannya.****

MAKNA SIMBOLIS PADA ISTANA MALIGE BUTON


Oleh : La Ode Ali Ahmadi


Malige (Rumah Sultan). Di Liya Namanya Kamali (Rumah Mo,ori)


Potensi Situs dan Benda Cagar Budaya (BCB) di wilayah Buton sebagai karya nyata peradaban manusia pendukungnya di masa lalu sungguh memukau dan beraneka ragam. Tidak mengherankan jika banyak orang berkeinginan untuk mengenal Buton lebih dekat, baik secara harfiah, ilmu pengetahuan, pemerintahan, politik dan lainnya, hingga pada kebutuhan bathin seseorang dalam rangka menjalani proses kehidupannya. Mereka yang berkunjung ke Negeri Butun (berita di berbagai ekspedisi purba dan kitab Negara Kertagama; Butun = jenis pohon pantai = Baringtonia Asiatica), ingin mendalami dan mempelajari ilmu tauhid dan agama Islam Tarekat di Buton yang terkenal itu. Dan sebaliknya banyak pula orang, kelompok, bangsa dalam sindrom tertentu, sengaja ingin menghancurkan dan memfitnah Buton sekaligus membunuh karakter manusianya.
Daerah seribu pulau, seribu benteng dan istilah seribu lainnya, adalah julukan Pulau Buton, secara geografis terletak pada garis lintang dari utara ke selatan antara 20⁰30’ - 125⁰ Bujur Timur, merupakan kawasan timur jazirah tenggara Celebes Island = Pulau Sulawesi Indonesia. 

Menurut referensi serta pengakuan sejarah dari berbagai sumber, Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan wilayah otonom dan merupakan kawasan mandiri yang memiliki keistimewaan. Karakter budaya dan pola pikir dari masyarakatnya yang cerdas, inovatif serta mampu bertahan adalah dasar mengapa mereka pandai berdiplomasi, berwatak keras, dan cerdik sehingga jangan diherankan apalagi sampai dipolemikkan bahwa; “Di masa lalu, Kerajaan/Kesultanan Buton, tidak pernah tunduk dan dikuasai, apalagi terjajah oleh bangsa manapun di dunia dan kerajaan lain di nusantara”. Jika dikatakan kerjasama/hegemoni dengan bangsa atau kerajaan lain, Buton melakukannya, karena memang tipe kerajaan ini terbuka pada siapapun dan kebersahajaannya yang selalu ingin bersahabat, menolong dan bermitra dalam berbagai bidang adalah keutamaan dan kewajiban kerajaan, demi menciptakan kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya masa itu.

Penamaan Buton telah diperjelas dari beberapa informasi diantaranya:
  1. Nama Buton telah dikenal di Jawa tepatnya pada masa Gajah Mada menjadi Patih Kerajaan Majapahit. Berita ini diketahui dari Kitab Nagarakertagama (1365), pupuh 14 karangan prapanca. Dalam kitab ini berbunyi, “muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan le Luwuk tentang Udamaktrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusa nusa Makasar Butun (Buton) Banggawi Kuni Craliyao mwangi (ng) Selaya (Selayar) Sumba […..]” (Pigeaud, 1962).
  2. Berita dari Tome Pires yang menceritakan pelayarannya di perairan nusantara pada tahun 1512-1515 Masehi. Ia berangkat dari Tumasik (Singapura) ke Maluku melalui Borneo (Kalimantan), Makassar dan Buton. Informasi ini menunjukan bahwa Buton ketika itu telah dikenal oleh pelaut yang melintasi perairan nusantara termasuk orang asing.
  3. Lembar Naskah Kuna, diantaranya berita tentang, seorang Belanda bernama Apollonius Schot diutus oleh VOC untuk mengadakan perjanjian kerjasama dengan Sultan Buton pada bulan Desember 1612. Perjanjian ini terjadi pada tanggal 5 Januari 1613. Kedua belah pihak menyetujui suatu perjanjian yang berisi antara lain; kebebasan Buton melaksanakan agama dan sistim pemerintahannya (Yunus, 1995:11-14).
  4. Penulisan nama Buton yang dijumpai pada sketsa peta yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Pieter Both tahun 1613, menyebut Straat Van Boeton untuk selat Buton (Nusriat, 1988:70)
Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan oleh orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Pernyataan ini didukung pula oleh A. Ligtvoet yang bertugas di negeri ini. Ia menulis buku yang berjudul, “Bescrijving en Geschiedenis Van Boeton Sigra Venhoge” (1877), yang menyebutkan bahwa; “He rijk Boeton, dat in de Landstaal Bolio (Wolio), in het Malaeisch Boeton, en in het Makassarch en Boeginesch Boetoeng heet” (Abubakar, 1999:25)

Ibarat prasasti dan goresan profil pada candi-candi di Jawa, yang mengkisahkan berbagai hal dan peristiwa, seperti halnya kisah babad tanah jawi, Buton pun memiliki kisah yang tak kalah menariknya. Eksistensi dari nilai-nilai serta kearifan budaya dan peradaban Buton masa lalu, masih dapat disaksikan pada persebaran lambang/simbol maupun rangkaian ragam hias di berbagai pelosok kadie/kerajaan-kerajaan kecil yang mengakui keberadaan Kerajaan/Kesultanan Buton. Wilayah 72 (tujuhpuluh dua) kadie terletak dan tersebar di seluruh kepulauan dan daratan Buton. Kini kadie menjadi referensi dan oleh parah ahli humaniora khususnya arkeolog; wilayah kadie dikategorikan sebagai situs pemukiman sekaligus sebagai bukti konkrit bahwa Buton masa lalu memang Raya dan Jaya. Pada kesempatan di kolom ilmiah ini, penulisan hanya dibatasi pada kekayaan dan keragaman dari makna simbolis pada Istana Malige di Buton.

Dalam kamus besar Wikipedia, menyebutkan bahwa Istana Sultan Buton disebut Kamali atau Malige. Bangunannya didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Rumah adat Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 (lima) buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 (empatpuluh) buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala dan semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong. Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 (empat) buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 (tiga) petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 (enam) buah akan mempunyai 5 (lima) petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 (delapan) buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 (tujuh) ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.

Keterangan yang lebih umum dan luas lagi menjelaskan bahwa Kamali/Istana Malige (Kamali = Istana = rumah raja/sultan/pejabat kesultanan; Malige = Mahligai) sebagai istana Sultan di analogikan dengan tubuh manusia. Hal ini berkaitan dengan perwujudan Sultan sebagai pusat dari segala kekuatan. Kepercayaan yang menyangkut kekuatan yang berpusat pada raja berakar dari konsep dewa yang dikenal sejak jaman pra-Islam (Moertono, 1985, dalam Musadad dkk, 1998:21). Hal senada diungkapkan pula oleh Soejono yang mengatakan bahwa Sultan dianggap sebagai seorang tokoh yang menguasai masyarakat dan dapat menghubungkannya dengan dunia ghaib (Soejono, 1993:217). 

Istana Malige merupakan salah satu dari peninggalan arsitektur tradisional Buton, dapatlah dikatakan sebagai hasil dan kekayaan dari proses budaya (cultural process). Dalam hal ini Kamali/Istana Malige merupakan cagar budaya yang keberadaannya dapat mengungkap berbagai sistem kehidupan masyarakat pendukungnya, baik itu mengenai sistim sosial, teknologi tradisional (profan) maupun kepercayaan (religi) yang masih bertahan hingga sekarang. Seluruh lambang atau simbol yang dimaksud, melekat cantik di berbagai benda/artefak peninggalan Kerajaan/Kesultanan Buton. Salah satu peninggalan arsitektur tradisional Buton yang kaya akan makna simbolis baik konstruktif maupun dekoratif dapat disaksikan di Istana Malige.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, fungsi dan makna simbolis pada bangunan tersebut dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat secara keseluruhan tentang konsep tasawuf, yang menganggap bahwa pemilik kamali/istana Malige, dalam hal ini Sultan Buton adalah replikasi dari wajah Tuhan (Allah) yang wujudnya dianalogikan dalam bentuk arsitektur rumahnya (istananya) baik yang bersifat konstruktif maupun dekoratif. Bentuk lantai dan atapnya yang bersusun menunjukkan kebesaran dan keagungan Sultan. Bentuk tersebut juga menggambarkan fungsi Sultan sebagai pimpinan agama, pimpinan kesultanan serta pengayom dan pelindung rakyat. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh beberapa ahli tafsir/hadist yang mengarah pada sabda Nabi Muhammad, SAW, termuat dalam tafsir Kanzil-Umal (Andjo, 199:53). Hadist tersebut mempertegas tentang fungsi dan tanggung jawab Sultan sebagai amiril mu’minin. Pemahaman dasar simbol kosmologis dari Istana Malige, Kamali dan atau rumah masyarakat biasa di Buton pada dasarnya adalah sama sebab berasal dari satu konstruksi yang sama yang disebut banuwa tada (rumah ber-penyangga). Di katakan Istana/Kamali jika bangunan tersebut di huni oleh pejabat kerajaan/kesultanan, dengan menambahkan tiang penyangga di setiap sisi bangunan, berfungsi konstruksi semacam mata kipas, yang disebut kambero, lengkaplah di sebut kamali karena di sebut banua tada kambero, inilah yang membedakannya dengan rumah masyarakat biasa yang cukup disebut dengan satu mata penyangga/banua tada. 

Satu hal yang menarik tentang pemaknaan sama pada rumah pejabat kerajaan/kesultanan dengan masyarakat biasa adalah peninggian lantai/ruangan dalam rumah yang berbeda-beda. Peninggian lantai setiap ruangan ini merupakan pola awal konstruksi yang sudah menjadi aturan pokok jika ingin membangun sebuah rumah di Buton. Ruangan semakin kebelakang semakin tinggi sama dengan badan perahu antara haluan ke buritan atau posisi sujud dalam shalatnya seorang Islam. Sedangkan pembagiannya tergantung luas dan besar bangunan.
Sumintardja (1978), dalam hal ini beranggapan bahwa, secara simbolis ruangan yang terpenting diberi lantai yang lebih tinggi daripada ruangan-ruangan lainnya. Penerapan tata ruang seperti ini terlihat pula pada rumah tradisional di Aceh, Minangkabau, Palembang dan lainnya di daerah yang mayoritas beragama Islam.

Untuk Istana Malige pembagian tata ruangan tersebut mengandung unsur pemaknaan sebagai berikut:

  1. Disebut Sasambiri disimbolkan sebagai penggambaran pribadi Sultan yang selalu terbuka kepada rakyatnya. Hal ini terlihat pada penempatan pintu utama dan pintu belakang yang fungsi umumnya untuk keluar-masuknya orang kedalam istana.
  2. Disebut Bamba dan Tanga disimbolkan sebagai rongga perut, berfungsi sebagai tempat berkumpulnya tamu dan menampung segala pesoalan yang ditujukan kepada Sultan maupun keluarganya. Bamba biasanya digunakan untuk tamu yang bukan kerabat dekat Sultan sedangkan tanga digunakan untuk kerabat dekat Sultan.
  3. Disebut Suo disimbolkan sebagai rongga dada dan kepala. Hal ini dihubungkan dengan penempatan kamar utama yang berfungsi sebagai tempat peraduan Sultan. Selain itu Suo berhubungan dengan tradisi masyarakat setempat yang disebut po’suo. Tradisi ini berbentuk acara ritual yang ditujukan kepada gadis-gadis untuk dipingit karena dianggap sudah dewasa (aqil baligh) dan pantas untuk berkeluarga.
  4. Penghuni istana disimbolkan sebagai nyawa atau ruh pada manusia. Hubungan antara tubuh atau jasad dengan ruh manusia mengandung pemahaman saling menjaga dan saling merawat dan memelihara.
Pembagian ruangan yang telah disebutkan dibatasi oleh tetengkala (papan pisah). Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Buton (Alm. La Ode Saidi-adalah Anak kandung Sultan Buton 37, pewaris Istana Malige), bahwa Tetengkala berfungsi sebagai pembatas dan tanda kejelasan fungsi ruangan dalam istana Malige. Fungsi pemisahan dimaksud dimisalkan tentang tamu laki-laki ditempatkan diruangan bamba sedangkan tamu wanita diruangan tanga.
Untuk fungsi dapur dan kakus (wc), harus terpisah dengan induk bangunan, dan susunan lantainya lebih rendah dari lantai bangunan utama. Pada Kamali/Istana Malige bangunan untuk dapur dan kakus tersebut di bangun terpisah dan hanya di hubungkan oleh satu tangga. Bangunan dapur dan kakus secara simbolis dimaknai sebagai dunia luar yang keberadaannya jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah pembuangan. Tampak bangunan terbagi 3 (tiga) sebagai ciri 3 (tiga) alam kosmologi yakni; alam atas (atap), alam tengah atau badan rumah dan alam bawah atau kaki/kolong. Masing-masing bagian tersebut dapat diselesaikan sendiri-sendiri tetapi satu sama lain dapat membentuk suatu struktur yang kompak dan kuat dimana keseluruhan elemennya saling kait-mengkait dan berdiri diatas tiang-tiang yang menumpu pada pondasi batu alam (Maryono, dkk, 1985:61). Pondasi batu alam ini dalam bahasa Buton di sebut Sandi. 

Sandi tersebut tidak di tanam, hanya di letakkan begitu saja tanpa perekat dan berfungsi meletakkan tiang bangunan. Antara sandi dan tiang bangunan di antarai oleh satu atau dua papan alas yang ukurannya disesuaikan dengan diameter tiang dan sandi. Fungsinya untuk mengatur keseimbangan bangunan secara keseluruhan. Penggunaan batu alam tersebut bermakna simbol prasejarah dan pemisahan alam (alam dunia dan alam akherat), adalah konsep dualisme, walaupun sebenarnya jika ditinjau dari fungsinya lebih bersifat profan. 

Makna simbolis pada konstruksi lain Kamali/Istana Malige diantaranya adalah:

  • Atap yang disusun sebagai analogi susunan atau letaknya posisi kedua tangan dalam shalat, tangan kanan berada di atas tangan kiri. Pada sisi kanan kiri atap terdapat kotak memanjang berfungsi bilik atau gudang. Bentuk kotak tersebut menunjukkan adanya tanggungjawab Sultan terhadap kemaslahatan rakyat.
  • Balok penghubung yang harus diketam halus adalah penggambaran budi pekertinya orang beriman, sebagai analogi bagi penghuni istana,
  • Tiang Istana di bagi menjadi 3 (tiga) yang pertama disebut Kabelai/Tutumbu (tiang tengah = tumbuh terus), disimbolkan sebagai ke-Esa-an Tuhan yang pencerminannya diwujudkan dalam pribadi Sultan. Kabelai ditandai dengan adanya kain putih pada ujung bagian atas tiang. Penempatan kain putih harus melalui upacara adat (ritual) karena berfungsi sakral. Berikutnya adalah Tiang Utama sebagai tempat meletakkan tada (penyangga). Bentuk tada melambangkan stratifikasi sosial atau kedudukan pemilik rumah dalam Kerajaan/Kesultanan. Tiang lainnya adalah tiang pembantu, bermakna pelindung, gotong royong dan keterbukaan kepada rakyatnya. Ketiga tiang ini di analogikan pula sebagai simbol kamboru-mboru talu palena, yang maksudnya ditujukan kepada tiga keturunan (Kaomu/kaum) pewaris jabatan penting yakni Tanailandu, Tapi-Tapi dan Kumbewaha.
  • Tangga dan Pintu mempunyai makna saling melengkapi. Tangga depan berkaitan dengan posisi pintu depan, sebagai arah hadap bangunan yang berorientasi timur-barat bermakna posisi manusia yang sedang shalat. Pemaknaan ini berkaitan dengan perwujudan Sultan sebagai pencerminan Tuhan yang harus di hormati, dan secara simbolis mengingatkan pada perjalanan manusia dari lahir, berkembang dan meninggal dunia. Berbeda dengan tangga dan pintu belakang yang menghadap utara disimbolkan sebagai penghargaan kepada arwah leluhur (nenek moyang/asal-usul).
  • Lantai yang terbuat dari kayu jati melambangkan status sosial bahwa sultan adalah bangsawan dan melambangkan pribadi sultan yang selalu tenang dalam menghadapi persoalan.
  • Dinding sebagai penutup atau batas visual maupun akuistis melambangkan kerahasian ibarat alam kehidupan dan alam kematian. Dinding dipasang rapat sebagai upaya untuk mengokohkan dan prinsip Islam pada diri Sultan sebagai khalifah.
  • Jendela (bhalo-bhalo bamba) berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara. Pada bagian atasnya terdapat bentuk hiasan balok melintang member kesan adanya pengaruh Islam yang mendalam. Begitu pula pada bagian jendela lain yang menyerupai kubah. dll
Makna simbolis pada Dekorasi Kamali/Istana Malige terbagi dua yakni yang berbentuk hiasan flora dan fauna, diantaranya adalah:

  1. Nenas merupakan simbol kesejahteraan yang ditumbuhkan dari rakyat. Secara umum simbol ini menyiratkan bahwa masyarakat Buton agar mempunyai sifat seperti nenas, yang walaupun penuh duri dan berkulit tebal tetapi rasanya manis.
  2. Bosu-bosu adalah buah dari pohon Butun (baringtonia asiatica) merupakan simbol keselamatan, keteguhan dan kebahagiaan yang telah mengakar sejak masa pra-Islam. Pada pemaknaan yang lain sesuai arti bahasa daerahnya bosu-bosu adalah tempat air menuju pada perlambangan kesucian mengingat sifat air yang bening dan suci. Upacara ritual tertentu bagi masyarakat Buton tidak dianggap sah apabila tidak diadakan sejenis makanan tradisional yang disebut katupa butu, yang berarti ketupat butun, yakni ketupat sebesar buah butun (Yunus, 1995:11)
  3. Ake merupakan hiasan pinggir atap yang bentuknya seperti patra (daun). Pada Istana Malige, Ake dimaksudkan sebagai wujud kesempurnaan dan lambang bersatunya antara Sultan (manusia) dengan Khalik (Tuhan). Konsepsi ini banyak dikenal pada ajaran tasawuf, khususnya Wahdatul Wujud (Saptono, 1996:18)
  4. Kamba/kembang yang berbentuk kelopak teratai melambangkan kesucian. Karena bentuknya yang mirip pula matahari, orang Buton biasa pula menyebutnya lambang Suryanullah (surya=matahari, nullah=Allah). Bentuk ini adalah tempat digambarkannya Kala pada masa klasik, dan merupakan pengembangan Sinar Majapahit pada masa Pra Islam di Buton, mengingatkan hubungan persaudaraan dan persahabatan Kerajaan Buton dan Kerajaan Majapahit masa lalu berdasarkan penyebutan dan keberadaan Kerajaan Butun/Buton di beberapa pupuh/pasal dalam kitab Negara Kertagama. Adapun kedudukan simbol matahari yang biasa digambarkan, sekarang hanya berupa volute (Subarna, 1987:100). Simbol kamba ini terdapat pula pada beberapa Nisan Kuna bangsawan Buton masa lalu. 
  5. Terdapatnya Naga pada bumbungan atap, melambangkan kekuasaan, dan pemerintahan. Pada masa Hindu-Budha hiasan Naga dihubungkan dengan ceriteraSamodramanthana. Cerita ini berisi tentang usaha para dewa mengacau laut untuk mendapatkan air amerta (Soekmono dalam Saptono, 1996:19). Naga adalah Binatang Mitos yang berada di Langit,. Naga juga merupakan lambang alam bawah (bumi) sebagai kesuburan, juga merupakan lambang alam kematianyang menjamin dan dijadikan kendaraan dari dunia ke alam baka. Motif naga menjadi hiasan yang terdapat diseluruh Asia hingga Australia (Bintarti, 1987:292). Keberadaan Naga di khasanah simbolisasi Buton, mengisahkan pula asal-usul bangsa Wolio yang di yakini datang dari daratan Cina.-Mongol.
  6. Terdapatnya Tempayan berlambangkan kesucian. Tempayan ini mutlak harus ada di setiap bangunan kamali, mesjid, tempat atau makam suci, maupun rumah rakyat biasa. dll
Kamali/Istana Malige dalam penataan struktur bangunannya, didasari oleh konsep kosmologis sebagai wujud keseimbangan alam dan manusia kepada tuhannya (Allah SWT). Disisi lain keberadaannya merupakan media penyampaian untuk memahami kehidupan masyarakat pada jamannya (kesultanan) dan sebagai alat komunikasi dalam memahami bentuk struktur masyarakat, status sosial, ideologi dan gambaran struktur pemerintahan yang dapat dipelajari melalui pemaknaan lambang-lambang, simbol maupun ragam hiasnya secara detail.

Secara umum dapat digambarkan bahwa susunan ruangan dalam istana Malige adalah sebagai berikut:

  1. Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebagai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebagai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan dipergunakan sebagai makar anak perempuan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.
  2. Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
  3. Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi.
  4. Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Di samping kamar bangunan Malige terdapat sebuah bangunan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini dipergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia.
Sangat disayangkan jika keberadaan bangunan maupun pemaknaan simbol tersebut cenderung di abaikan, contoh kasus adalah banyaknya bangunan rumah/gedung permanen (batu dan semen) di lokasi Situs Benteng Keraton Buton dan situs benteng lainnya di daerah ini yang jelas menyalahi konsep pelestarian. Kasus lain adalah keberadaan dari replika rumah adat Malige di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, menyalahi citra/image, karena bangunan tersebut telah di padukan dengan rumah etnis lain selain Buton, yang seharusnya di bangun secara terpisah agar Identitas dan keragaman khasanah rumah adat tradisional Sulawesi Tenggara khususnya dan Indonesia umumnya itu semakin jelas bukan malah samar-samar. Kasus lain yang lebih aneh adalah peng-karakter-an simbol Naga di Pantai Kamali Kota Bau-Bau, yang seharusnya Naga merupakan simbol binatang langit, bukan simbol binatang bumi. 

Mari kita semua membuka jendela hati, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan kearifan budaya lokal, terutama dalam pemaknaan simbolis, baik itu lambang maupun ragam hias, sebagai karya monumental para leluhur yang masih tetap mengawasi tindak tanduk anak cucunya di dunia. Satu hal yang perlu kita ingat bersama bahwa “sesungguhnya manusialah satu-satunya mahluk yang dapat dibunuh dengan sebuah lambang (simbol)” (by Leslie White). Jadi, berhati-hatilah dengan sebuah simbol.****



Daftar Pustaka:

  1. Abubakar, Laode, 1999, “Pemahaman Tentang Sejarah Yang Bernama Wolio-Butuni”, Majalah Budaya Buton Edisi I, II, dan III Kendari:Yayasan Wolio Malagi. Ambary, Hasan. M, 1987, 
  2. “Pengamatan beberapa Konsepsi Estetis dan Simbolis Pada Bangunan Sakral dan Sekuler Masa Islam di Indonesia”, Diskusi Ilmiah Arkeologi II (Estetika dalam Arkeologi Indonesia), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  3. Andjo, Nur Ikhsanuddin, 1999, “Rumah Adat Buton”, Majalah Budaya Buton Edisi II dan III, Kendari: Yayasan Wolio Malagi. 
  4. Bintarti, D.D, 1987, “Seni Hias Prasejarah : Suatu Studi Etnografi, Diskusi Ilmiah Arkeologi II (Estetika dalam Arkeologi Indonesia), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  5. Musadad, dkk, 1998, “Struktur dan Organisasi Ruang Kota Kartasura Masa Mataram Islam”, Berita Penelitian Arkeologi, Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta. 
  6. Nusriat, 1988, “Mesjid Keraton Buton”, Skripsi, Ujung Pandang : Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. 
  7. Saptono, M. Nanang, 1996, “Sekilas Mengenai Arsitektur Tradisional Masa Islam di Kotamadya Pontianak”, Prospek Arkeologi, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi. 
  8. Soejono, RP, (ed), 1982, “Penelitian dan Perlindungan sebagai Dua Aspek Pokok dalam Kegiatan Arkeologi”, Analisis Kebudayaan II No. 1, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  9. Sumintardja, Djauhari, 1978, “Kompendium Sejarah Arsitektur” Jilid I, Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. 
  10. Yunus, Abd Rahim, 1995, “Posisi Tasawuf dalam Sistim Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19”, Jakarta: Indonesia-Netherland Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Minggu, 24 Oktober 2010

KEPERCAYAAN REINKARNASI DI NEGERI BUTON

O l e h : SABIR
Editor : Ali Habiu

________________________________________


DR (HC) La Ode Unga Ma'rifatullah Pengakaji Tasauf dan Tarikat Bersama Ibunda Wa Ode Hawa, Keduanya Berkat Izin Allah SWT telah Reinkarnasi Pada Kehidupan Saat  ini........



Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat. Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama).
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.

A. Asal-Usul Kepercayaan pada Reinkarnasi

Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.

B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi

B.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas). Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.

B.2. Berubah menjadi binatang
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.

B.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.

C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain
C.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakan teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat

C.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal roh/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentang roh/ alam arwah hanya diberi tuhan sedikit saja, sedangkan urusan roh adalah urusan Allah SWT. ” (Arberry 1955, I:311-312). Namun demikian walau hanya sedikit diberikan oleh tuhan kepada manusia tentang pengetahuan roh, namun bagi manusia  yang diberi kelebihan atau rahmat oleh Allah SWT pengetahuan sedikit itu sudah amat luas karena jiwanya sudah bisa melepas dari tubuhnya sejenak untuk pergi melanglang buana ke 7 (tujuh) lapis langit dan 3 (tiga) alam sesudahnya untuk mengetahui tentang roh atau arwah. Maka bagi manusia-manusia yang diberi rahmat itulah yang bisa mengetahui urusan roh / arwah atas izin Allah SWT. ****