Daftar Blog Saya

Kamis, 07 Oktober 2010

Sejarah Buton yang terabaikan

Mia Patamiana



Mia Patamia adalah sebutan untuk empat orang pemimpin kelompok yang merintis berdirinya Kota Bau-Bau dan Kerajaan Buton. Keempat orang tersebut adalah Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati.

Daftar isi


Sejarah

Dalam sejarah Budaya Buton manusia pertama yang mendiami daerah ini adalah orang-orang sakti dan kedatangannya bertahap dan berkelompok.

Kedatangan Sipanjonga dan Rombongannya

Si Panjonga adalah orang sakti berasal dari suku melayu di negeri Pasai yang meninggalkan asalnya pada tiga likur malam bulan sa’ban tahun 634 Hijriah dengan mengajak Si Tamanajo sebagai pembantu utamanya serta 40 orang kepala keluarga sebagai pengikutnya. Kepergian rombongan besar ini dari negeri asalnya mencari daerah yang telah diberitakan oleh leluhurnya untuk ditempati. Perjalanan itu menghabiskan waktu selama berbulan bulan dengan melintasi daratan dan menyeberangi samudera menggunakan bahtera yang bernama Lakuleba. Di buritan bahtera dikibarkan bendera kerajaan leluhurnya yang berwarna hitam putih selang seling. Dalam bahasa Wolio-Buton bendera ini disebut Longa-Longa. Nama armada yang digunakan oleh Si Panjonga dan pembantu utamanya serta para pengikutnya diabadikan menjadi sebuah nama perkampungan di sebuah desa di kabupaten Buton yang disebut desa Lakaliba.
Pada tahun 1236 M, armada Si Panjonga dan pengikutnya mendarat di salah satu daratan negeri Buton. Sesampai di negeri baru itu mereka mencari sebuah lokasi dataran tinggi untuk membina kaumnya agar mudah melakukan pengawasan serta menjaga kemungkinan serangan musuh. Rombongan manusia besar dan sakti ini membuat benteng pada sebuah bukit yang diberi nama Tobe Tobe. Setelah rampung membuat benteng, mereka kembali mendatangi lokasi pertama terdampar dengan maksud mengibarkan bendera kerajaan leluhurnya. Maka dibuatlan sebuah lubang yang berada di salah satu tempat yang dikelilingi benteng untuk mengibarkan bendera tersebut yang disebut Sulaa. Saat ini tempat tersebut tidak pernah berubah namanya dan diabadikan menjadi sebuah nama kelurahan yaitu Kelurahan Sulaa yang berada di wilayah kecamatan Betoambari. Namun, benteng tempat pengibaran bendera tersebut telah dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa waktu pasca pembuatan benteng dan pengibaran bendera, kehidupan di Tobe Tobe mulai berjalan baik. Si Panjonga meminta kepada pembantu utamanya Si Tamanajo untuk mengajak sebagian pengikutnya untuk mencari daerah baru sebagai tempat tinggal dan mengembangkan keturunannya. Perintah ini disahuti Si Tamanajo dan langsung berpamitan kepada pimpinannya Si Panjonga serta rombongan yang ditinggalkan. Rombongan kecil yang dipimpin Si Tamanajo ini meninggalkan Sulaa menyusuri pantai Buton menuju teluk Bungi Todanga (Sekarang wilayah kecamatan Kapontori Kapontori). Kemudian melanjutkan perjalanan menuju sebuah dataram tinggi yang berada di sebelah Timur Laut dari tempat kediaman pimpinannya Si Panjonga di Tobe Tobe. Karena lokasi tersebut dinilai cukup nyaman, akhirnya Si Tamanajo memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya dan membuat perkampungan serta benteng pertahanan di puncak Gunung yang disebutnya Lambelu dan memberi nama bentengnya Benteng Kamosope.
Benteng tersebut hingga kini masih tetap ada, yang dilengkapi dengan dua pucuk meriam yang posisinya berlawanana arah. Satu pucuk moncongnya mengarah ke Barat dan moncong lainnya mengarah ke sebelah Timur. Setelah perkampungan dan pembuatan benteng selesai, Si Tamanajo memerintahkan kepada rombongannya untuk membuat lubang pengibaran bendera Kerajaan leluhurnya sama dengan yang dikibarkan pimpinannya di Sulaa yaitu bendera Longa Longa.

Kedatangan Armada Si Malui

Kedatangan manusia kedua di negeri Buton disebutkan dalam sejarah budaya Buton adalah manusia sakti bernama Si Malui dan adiknya bernama Si Baana serta pembantu utamanya Si Sajawangkati. Si Malui berasal dari daerah Bumbu negeri Melayu Pariaman, meninggalkan negeri asalnya pada lima belas hari bulan Sya’ban tahun 634 H. Sama seperti Si Panjonga, Si Malui membawa rombongan 40 orang kepala keluarga sebagai pengikutnya. Berbulan bulan lamanya mengarungi lautan dan melewati daratan dengan menumpang sebuah bahtera yang diberi nama Popangua. Di buritan bahtera yang mereka tumpangi dikibarkan bendera kerajaan leluhurnya yang berwarna kuning hitam selang seling dinamai bendera Buncaha.
Rombongan yang dipimpin Si malui terdampar disebelah Utara Timur Laut negeri Buton, hampir bersamaan dengan kedatangan Si Panjonga. Daerah pendaratan pertama di wilayah Kamaru dengan bentengnya yang disebut Wonco. Sama halnya dengan Si Panjonga, Si Malui Juga memerintahkan pembantu utamanya untuk mencari daerah hunian baru. Wilayah yang dikunjungi Si Sajawangkati atas perintah Si malui adalah wilayah yang diberi nama Wasuembu dan langsung mendirikan pemukiman dan benteng pertahanan yang diberi nama benteng Koncu di Wabula. Selanjutnya dibuatlah sebuah lubang untuk mengibarkan bendera di daerah Kamaru.

Berdirinya Kampung Wolio

Kehadiran dua rombongan yang telah menempati 4 wilayah ini pun saling mengenal dan saling mengunjungi. Ketika itu dibuatlah sebuah kesepakatan untuk mengadakan musyawarah yang memutuskan untuk mendirikan perkampungan bersama yang dinamai Batu Yi Gandangi. Ketua Pelaksana Bandar perkampungan adalah Si Panjonga. Hingga saat ini tempat Bandar perkampungan tersebut tetap diabadikan menjadi tempat Makam Pahlawan Ksatria Buton dan Muna yaitu Laki La Ponto alias Murhum Raja Buton VI atau Sultan Buton I di Negeri Buton. Selaku ketua pelaksana Bandar Perkampungan, Si Panjonga berdiri di tengah tengah kerumunan orang banyak sambil berteriak dalam bahasa Wolio dengan ucapan Welia, artinya buatlah Perkampungan (We = buatlah ; Lia = Perkampungan). Ucapan Si Panjonga ini diabadikan menjadi nama wilayah kecamatan Wolio.
Mulai saat itulah Si Panjonga bermukim di Batu Yi Gandangi atau yang saat ini di sebut dengan Lele Mangura, tanpa seorang pendamping atau seorang isteri hingga akhir hayatnya seperti halnya pimpinan rombongan lain yang memiliki anak cucu di Buton. Sejak pembentukan Bandar perkampungan dan diakui keberadaannya masing masing, para ksatria dibebaskan untuk mencari tempat bermukim secara perorangan, yang semula bermukim di Lambelu dan Kamaru. Sebagian mengadu nasib di negeri Muna. Begitu pula dengan yang bermukim di Tobe Tobe telah menuju wilayah Tiworo dan Pulau Kabaena yang merupakan penghuni pertama daerah tersebut hingga saat ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar