Daftar Blog Saya

Jumat, 08 Oktober 2010

Kesultanan Islam di Asia Tenggara

Kesultanan Islam di Asia Tenggara
(mulai abad 13 - sekarang)

DAFTAR ISI
» Kesultanan Samudera Pasaiabad ke-13   di Nanggroe Aceh Darussalam
» Kesultanan Malakaabad ke-15   di Malaysia
» Kesultanan Islam Pattaniabad ke-15   di Thailand
» Kesultanan Brunei Darussalamabad ke-15   di Brunei Darussalam
» Kesultanan Islam Suluabad ke-15   di Filipina
» Kesultanan Ternateabad ke-15   di Maluku
» Kesultanan Aceh Darussalamabad ke-16   di Nanggroe Aceh Darussalam
» Kesultanan Demakabad ke-16   di Jawa Tengah
» Kesultanan Cirebonabad ke-16   di Jawa Barat
» Kesultanan Banjarabad ke-16   di Kalimantan Selatan
» Kesultanan Bantenabad ke-16   di Banten
» Kesultanan Butonabad ke-16   di Sulawesi Tenggara
» Kesultanan Goaabad ke-16   di Sulawesi Selatan
» Kesultanan Joharabad ke-16   di Malaysia
» Kesultanan Kutaiabad ke-16   di Kalimantan Timur
» Kesultanan Panjangabad ke-16   di Jawa Tengah
» Kesultanan Mataramabad ke-16   di Jawa Tengah dan Yogyakarta
» Kesultanan Palembangabad ke-16   di Sumatera Selatan
» Kesultanan Bimaabad ke-17   di Nusa Tenggara Barat
» Kesultanan Siak Sri Indrapuraabad ke-18   di Sumatera Timur
Referensi
PENYEBARAN ISLAM di wilayah Asia Tenggara ditandai dengan berdirinya kesultanan Islam di kawasan tersebut. Sejarah perkembangan kesultanan Islam di Asia Tenggara tidak lepas dari kepentingan perdagangan dan syiar agama yang dibawa oleh para saudagar dan ulama muslim dari Asia Barat. Adapun Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Julukan ini diberikan mengingat peranannya sebagai jalan lalu lintas antara Asia Timur san Asia Barat bagi para pedagang yang hendak keluar masuk pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara. Berikut ini adalah profil beberapa kesultanan Islam yang pernah berkuasa di Asia Tenggara.
Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13).
Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam pertama di Indonesia. Letak kesultanan ini di Aceh Utara. Sultan pertama Samudera Pasai adalah Malikush Shaleh.Letak Samudera Pasai sangat strategis sebagai pusat pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Banyak pedagang muslim dari Arab, Cina dan India datang untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Kesultanan ini memperoleh sumber pendapatan yang besar dari pajak perdagangan dan pelayaran. Samudera Pasai ditaklukkan Portugis pada 1521. Sejarah Kesultanan Samudera Pasai dapat diketahui antara lain dengan ditemukannya uang dirham emas dengan tulisan nama sultan yang memerintah Samudera Pasai.
Kesultanan Malaka (abad ke-15).
Kesultanan ini terletak di Semenanjung Malaka. Islam di Malaka berasal dari Kesultanan Samudera Pasai. Pendiri Kesultanan Malaka adalah Paramesywara, seorang pangeran dari Sriwijaya. Paramesywara menikah dengan putri sultan Samudera Pasai dan kemudian masuk Islam. Kesultanan Malaka mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1445-1459).
Kesultanan ini runtuh ketika Portugis menyerang dan mengalahkan Malaka pada 1511. Peninggalan sejarah Kesultanan Malaka barupa mata uang yang merupakan peninggalan dari akhir abad ke-15 dan benteng A'Farmosa yang merupakan bukti penaklukkan Malaka oleh pasukan Portugis.
Kesultanan Islam Pattani (abad ke-15).
Kehadiran Islam di Pattani dimulai dengan kedatangan Syekh Said, mubalig dari Pasai, yang berhasil menyembuhkan raja Pattani bernama Phaya Tu Nakpa yang sedang sakit parah. Phaya Tu Nakpa (1486-1530) beragama Budha kemudian masuk Islam dan bergelar Sultan Ismail Syah. Kesultanan Pattani mengalami kemajuan pesat setelah menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Malaka. Kesultanan Pattani kemudian menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan, terutama bagi pedagang dari Cina dan India. Kejayaan Pattani berakhir setelah dikalahkan Kerajaan Siam dari Bangkok. Peninggalan sejarah Pattani berupa nisan kubur yang disebut Batu Aceh yang melambangkan kedekatan hubungan dengan Samudera Pasai.
Kesultanan Brunei Darussalam (abad ke-15).
Kesultanan Brunei Darussalam merupakan kesultanan Islam yang terletak di Pulau Kalimantan sebelah utara. Islam pertama kali masuk ke Brunei pada 977, dibawa saudagar Cina. Setelah raja Awang Alak Betatar (1406-1408) masuk Islam, ia mengubah kerajaan itu menjadi kesultanan. Kata "Darussalam" ditambahkan pada kata "Brunei" pada abad ke-15 untuk menekankan Islam sebaga agama negara. Kesultanan Brunei Darussalam berkembang menjadi pusat penyebaran Islam dan perdagangan wilayah Melayu ketika Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kesultanan Brunei Darussalam pernah dikuasai Inggris pada 1888, di masa kepemimpinan Sultan Hasyim Jalilu Ageramaddin, sultan ke-15, namun dapat meraih kemerdekaannya dari Inggris 1983.
Kesultanan Islam Sulu (abad ke-15).
Kesultanan Sulu merupakan kesultanan Islam yang terletak di Filipina bagian selatan. Islam masuk dan berkembang di Sulu melalui orang Arab yang melewati jalur perdagangan Malaka dan Filipina. Pembawa Islam di Sulu adalah Syarif Karim al-Makdum, orang Arab yang ahli ilmu pengobatan. Abu Bakar, seorang dai dari Arab, menikah dengan putri dari pangeran Bwansa dan kemudian memerintah di Sulu dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan.
Kesultanan Ternate (abad ke-15).
Kesultanan Islam terbesar di Maluku adalah Kesultanan Ternate. Penyebaran Islam di daerah ini dilakukan oleh para ulama dan pedagang dari Pulau Jawa. Islam menjadi agam kerajaan setelah Sultan Zainal Abidin memerintah. Kesultanan Ternate menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di kawasan timur Nusantara. Kesultanan Ternate mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Babullah. Kesultanan Ternate bersaing dengan Kesultanan Tidore terutama dalam perdagangan. Kesultanan Ternate berakhir setelah ditaklukkan oleh VOC (Verenidge Osst-Indische Compagnie) pada 1660. Peninggalan Kesultanan Ternate antara lain Benteng Portugis dan bekas istana di Ternate (Maluku Utara).
Kesultanan Aceh Darussalam (abad ke-16).
Kesultanan Aceh atau Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Sumatera bagian utara. Kesultanan ini didirikan pada 1541 oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh mengantikan peran Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka yang jatuh ke tangan Portugis, terutama dalam perdagangan dan pelayaran. Kesultanan ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda pada 1912. Peninggalan sejarah Kesultanan Aceh antara lain Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh dan Cakra Donya, yaitu lonceng hadiah dari kaisar Cina.
Kesultanan Demak (abad ke-16).
Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa. Raja Demak pertama adalah Raden Fatah, bupati Majapahit di Bintoro dan mencapai puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sultan Trengono. Kesultanan Demak berhasil melebarkan kekuasaannya sampai ke daerah luar Jawa, seperti Kesultanan Banjar, Kerajaan Kotawaringin, dan Kesultanan Kutai di Kalimantan. Kesultanan ini mengalami kemunduran di masa Sunan Prawoto karena beberapa daerah taklukkan Demak memberontak. Peninggalan Kesultanan Demak yang paling terkenal adalah Masjid Agung Demak. Ciri khas masjid ini adalah bangunannya ditopang empat tiang atau saka guru yang dibangun empat orang sunan dari sembilan wali (Wali Songo), yaitu Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.
Kesultanan Cirebon (abad ke-16).
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kesultanan Cirebon didirikan pada 1450 oleh Pangeran Walangsungsang. Tokoh yang paling berperan menjadikan Cirebon sebagai Kesultanan Islam adalah Syarif Hidayatullah. Sepeninggal Panembahan Girilaya (1650-1662), Kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua oleh kedua anaknya, menjadi Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Kanoman. Meskipun tidak mempunyai kekuasaan administratif, Kesultanan Cirebon tetap bartahan sampai saat ini.
Kesultanan Banjar (abad ke-16).
Kesultanan Banjar merupakan kesultanan Islam yang terletak di Pulau Kalimantan bagian selatan. Kesultanan ini pada walnya bernama Daha, sebuah kerajaan Hindu yang berubah menjadi kesultanan Islam. Kesultanan Banjar berdiri pada 1595 dengan penguasa pertama Sultan Suriansyah. Islam masuk ke wilayah ini tahun 1470, bersamaan dengan melemahnya kerajaan Maajapahit di Pulau Jawa. Penyebaran Islam secara luas dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama yang menjadi Mufti Besar Kalimantan. Kesultanan Banjar mengalami kemunduran dengan terjadinya pergolakan masyarakat yang menentang pengangkatan Pangeran Tamjidillah (1857-1859) sebagai sultan oleh Belanda. Pada 1859-1905, terjadi perang Banjar yang dipimpin Pangeran Antasari (1809-1862) melawan Belanda. Akibat dari perang ini, Belanda menghapuskan Kesultanan Banjar pada 1860. Peninggalan sejarah Kesultanan Banjar dapat dilihat dari bangunan masjid di Desa Kuin, Banjar Barat (Banjarmasin) yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah.
Kesultanan Banten (abad ke-16).
Kesultanan ini adalah kesultanan terbesar di Jawa Barat. Kesultanan Banten didirikan Sunan Gunung Jati pada 1524. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, Islam telah mengalami perkembangan pesat. Hal ini ditandai dengan berdirinya bangunan masjid dan pesantren. Kesultanan Banten mencapai masa keemasannya di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683).
Kesultanan ini mengalami kemunduran setelah terjadi perang melawan Belanda. Peninggalan Kesultanan Banten berupa Masjid Agung Banten, Menara Banten, Benteng Speelwijk, dan bekas Keraton Surosowan.
Kesultanan Buton (abad ke-16).
Kesultanan Buton merupakan kerajaan Islam yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi bagian tenggara. Kerajaan Buton menjadi kesultanan setelah Halu Oleo, raja ke-6, memeluk agama Islam. Penyebaran Islam secara luas dilakukan oleh syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Patani, seorang ulama dari Kesultanan Johor. Peninggalan sejarah Kesultanan Buton berupa Benteng Kraton dan Batupoaro, yaitu batu tempat berkhalwat (mengasingkan diri) Syekh Abdul Wahid di akhir keberadaannya di Buton.
Kesultanan Goa (abad ke-16).
Kesultanan Goa terletak di sebelah selatan Pulau Sulawesi. Kerajaan Goa berubah menjadi kesultanan pada akhir abad ke-16, di masa pemerintahan Sultan Alauddin (1593-1639).
Pada masa kepemimpinan Sultan Hasanuddin terjadi perang Makassar (1666-1669) meawan Belanda. Kesultanan Goa selanjutnya dikuasai oleh Belanda setelah dipaksa menyerah dan menandatangani Perjanjian Bongaya. Peninggalan Kesultanan Goa berupa kompleks makam Sultan Goa dan bekas rumah Sultan Goa terakhir di Makassar (Sulawesi Selatan).
Kesultanan Johor (abad ke-16).
Kesultanan Johor berdiri setelah Kesultanan Malaka dikalahkan oleh Portugis. Sultan Alauddin Riayat Syah membangun Kesultanan Johor pada sekitar tahun 1530-1536. Masa kejayaan kesultanan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah II. Kesultanan Johor memperkuat dirinya dengan mengadakan sebuah aliansi bersama Kesultanan Riau sehingga disebut Kesultanan Johor-Riau. Kesultanan Johor-Riau berakhir setelah Raja Haji wafat dan wilayah tersebut dikuasai oleh Belanda.
Kesultanan Kutai (abad ke-16).
Kesultanan Kutai terletak di sekitar Sungai Mahakam, Kalimanta bagian timur. Pada awalnya, Kutai merupakan kerajaan yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Buddha. Islam berkembang pada masa kepemimpinan Aji Raja Mahkota (1525-1600).
Penyebaran Islam dilakukan oleh seorang mubalig bernama Said Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar al-Warsak. Kesultanan ini mencapai kejayaannya pada masa Aji Sultan Muhammad Salehuddin (1780-1850) memerintah. Kesultanan Kutai mengalami kemunduran setelah Aji Sultan Muhammad Salehuddin meninggal dunia. Peninggalan sejarah Kesultanan Kutai berupa makam para sultan di Kutai Lama (dekat Anggana).
Kesultanan Pajang (abad ke-16).
Kesultanan Pajang merupakan kerjaan Islam pertama di pedalaman Jawa. Kesultanan ini didirikan oleh Joko Tingkir pada 1546, setelah Trenggono, Sultan Demak, wafat. Joko Tingkir atau Sultan Adiwijaya membawa pengaruh Islam dari wilayah pesisir ke wilayah pedalaman Jawa. Kesultanan Pajang hanya bertahan selama 45 tahun karena dihancurkan oleh Kesultanan Mataram pada 1618. Peninggalan Kesultanan Pajang berupa makam Pangeran Benowo.
Kesultanan Mataram (abad ke-16).
Kesultanan Mataram beridiri sejak 1582. Kesultanan ini berawal dari wilayah Kesultanan Pajang yang dihadiahkan oleh Sultan Adiwijaya kepada Kiai Ageng Pamanahan. Sultan pertama Mataram adalah Panembahan Senopati (1582-1601).
Puncak kekuasaan Kesultanan Mataram tercapai pada masa kepemimpinan Sultan Agung (1613-1645).
Kesultanan Mataram melemah setelah terjadi perpecahan wilayah akibat Perjanjian Giyanti serta campur tangan pihak Belanda. Kesultanan Mataram selanjutnya terbagi menjadi empat wilayah yaitu Kesultanan Yogyakarta, Pakualaman, Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegara. Peninggalan Kesultanan Mataram antara lain berupa pintu gerbang Masjid Kotagede di Yogyakarta.
Kesultanan Palembang (abad ke-16).
Pada awalnya, Kesultanan Palembang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Demak. Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan ini adalah Ki Gendeng Suro (1539-1572).
Pengetahuan dan keilmuan Islam berkembang pesat dengan hadirnya ulama Arab yang menetap di Palembang. Kesultanan Palembang menjadi bandar transit dan ekspor lada karena letaknya yang strategis. Belanda kemudian menghapuskan Kesultanan Palembang setelah berhasil mengalahkan Sultan Mahmud Badaruddin. Salatu satu peninggalan Palembang adalah Masjid Agung Palembang yang didirikan pada masa kepemimpinan Sultan Abdur Rahman.
Kesultanan Bina (abad ke-17).
Kesultanan Bima adalah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Sumbawa bagian timur. Kerajaan Bima berubah menjadi kesultanan Islam pada 1620 setelah rajanya, La Ka'i, memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Abdul Kahir. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682), Kesultanan Bima menjadi pusat penyebaran Islam kedua di timur Nusantara setelah Makassar. Kesultanan Bima berakhir pada 1951, ketika Muhammad Salahuddin, sultan terakhir, wafat. Peninggalan Kesultanan Bima antara lain berupa kompleks istana yang dilengkapi dengan pintu lare-lare atau pintu gerbang kesultanan.
Kesultanan Siak Sri Indrapura (abad ke-18).
Siak Sri Indrapura adalah sebuah kesultanan Melayu, didirikan (1723) oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, dan penyebarab Islam di Sumatera Timur. Pusatnya adalah Desa Buantan, kemudian pindah ke Siak Sir Indrapura (sekitar 90 km ke timur laut Pekanbaru).
Wilayah kekuasaan Siak Sri Indrapura meliputi Siak Asli, Bukit Batu, Merbau, Tebing Tinggi, Bangko, Tanah Putih dan Pulau Bengkalis (Kabupaten Bengkalis); Tapung Kiri dan Tapung Kanan (Kampar); Pekanbaru; dan sekitarnya. Istana bekas tempat tinggal dan pusat Kesultanan Siak Sri Indrapura sampai sekarang masih berdiri dengan megah di pinggir Sungai Siak dan merupakan salah satu objek pariwisata di daerah Riau.

Referensi
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, etc. Ensiklopedi Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
  • Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagia.us, keislaman.com, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999

Jejak Sejarah Kesultanan Buton



Buton - Pulau Buton. Nama yang selalu dihubungkan dengan pertambangan aspal alam. Tak banyak yang tahu, di pulau ini ada satu kesultanan, yang berperan mengisi sejarah Indonesia. Juga tak tercantum dalam buku pelajaran sejarah sekolah dasar. Kesultanan Buton seakan berdiri sendiri, diluar hiruk pikuk pentas sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Datanglah ke Kota Bau-bau. Di kota kecil inilah komplek Kesultanan Buton berada. Terletak di puncak bukit dan menghadap ke Selat Buton. Penduduk setempat menyebutnya keraton. Aura kemegahannya masih terasa nyata.
Dari arah laut, tiang bendera setinggi dua puluh satu meter, adalah tanda pertama yang akan terlihat oleh kapal yang datang. Tiang megah dari kayu jati ini didirikan tahun 1712 tepat dihalaman depan benteng. Seolah memberi isyarat, anda sedang memasuki wilayah kota raja. Di tiang ini juga pernah dikibarkan bendera kerajaan Belanda, Jepang sebelum akhirnya dikibarkan sang merah putih.
Kerajaan Buton diperkirakan berdiri pada abad empat belas, dua abad kemudian berubah menjadi kesultanan. Kompleks keraton dikelilingi oleh benteng sepanjang dua ribu tujuh ratus empat puluh meter. Benteng ini dibangun dalam kurun waktu lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda.
Benteng berbentuk huruf 'dal' dalam aksara Arab ini, disusun dari batu kapur dan pasir. Benteng ini dilengkapi dua belas pintu masuk dan enam belas kubu pertahanan. Banyaknya meriam yang ditempatkan di tiap sisi benteng, menunjukkan masa Kesultanan Buton tidaklah mudah. Ada musuh, ada tamu asing, dan juga ada kerajaan tetangga, yang setiap saat datang sebagai lawan.
Disisi tebing yang sekaligus pembatas benteng bagian belakang, terdapat sebuah ceruk. Letaknya tepat di bawah tanah keraton. Gua ini menjadi tempat persembunyian Arupalaka, Raja Bone, saat melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanudin dari Kerajaan Gowa. Berkat sumpah Sultan Buton yang menyatakan Arupalaka tidak berada di atas tanah Buton, maka selamatlah Raja Bone itu. Konon Arupalaka masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan petinggi Kesultanan Buton.
Perubahan sistem kerajaan menjadi Kesultanan Buton, tidak lepas dari nama besar Sultan Murhum. Dialah yang menorehkan sejarah di atas tanah Buton. Raja terakhir dari enam raja, sekaligus sultan pertama dari tiga puluh delapan sultan. Ia memerintah dari tahun 1538 hingga 1584, dengan gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis. Makamnya hingga saat ini masih terawat dengan baik di dalam kompleks keraton. Orang Buton tidak melupakannya. Nama sang sultan diabadikan menjadi nama pelabuhan laut, udara dan nama jalan.
Dalam komplek keraton, kediaman sultan tampak jauh lebih sederhana dibanding dengan istana raja-raja di tanah lain. Rumah panggung yang pernah didiami sejumlah sultan dari era yang berbeda, masih tersisa hingga kini. Rumah-rumah itu disebut kamali atau malige. Didalamnya, berbagai benda bersejarah juga masih disimpan, seperti bendera kerajaan yang pernah berkibar megah ratusan tahun lalu.
Kesederhanaan ini seperti cermin dari iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan Buton, jauh sebelum Indonesia lahir. Meski ada tiga golongan yang berbeda tugas, Sultan Buton tidak selalu diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan tergantung pada rapat anggota dewan legislatif yang berada di tangan golongan Walaka. Beberapa sultan konon dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan pelanggaran.
Nuansa Islami amat lekat dengan Kesultanan Buton. Ddalam setiap pengangkatan sultan baru, ada sejumlah ritual yang telah menjadi tradisi. Ada sebuah batu berbentuk tonggak tempat menyimpan air, yang akan dipakai mandi sang calon sultan, sebelum diambil sumpahnya di Masjid Agung dalam kompleks keraton. Sehabis diambil sumpahnya, sang sultan baru dibawa ke batu pengangkatan. Diatas batu yang menyerupai alat kelamin perempuan ini, sang sultan di upacarai seolah-olah baru terlahir kembali. Bentuk batu ini mengingatkan pada lingga yoni, dalam konsep ajaran Hindu.
Masjid Agung keraton. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng ini, didirikan pada awal abad delapan belas, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Meski menjadi bagian dari kompleks keraton dalam Kesultanan Buton, wujud bangunan ini tetap terlihat sederhana. Namun sebaliknya, setiap komponen bangunan masjid ini penuh dengan simbol yang kaya akan makna.
Pengaruh Islam masuk ke Buton secara resmi pada tahun 948 hijriah, dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Sulaiman. Syeikh ini berasal dari Semenanjung Tanah Melayu. Namun baru dua abad kemudian Masjid Agung keraton dibangun. Untuk mendirikan masjid ini konon menghabiskan tiga ratus tiga belas potongan kayu, yang sama jumlahnya dengan potongan tulang-tulang tubuh manusia.
Dilengkapi dengan dua belas pintu, masjid ini mampu menampung hingga lima ratus orang jemaah. Jumlah pintu merupakan simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia.
Pengaruh demokrasi dalam sistem kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Masjid Agung, yang berjumlah lima puluh enam orang. Namanya Sarakidina. Mereka datang dari keturunan bangsawan maupun rakyat jelata. Tugas mereka terdiri dari satu orang lakina agama, satu orang imam, empat orang khatib, sepuluh orang moji dan empat puluh orang anggotanya.
Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik, karena dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.
Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang Shalat Jumat. Petugas pemukul bedug atau tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.

Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang shalat, para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin shalat.
Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan shalat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum shalat di mulai.
Ritual sebelum shalat di mulai memang terlihat rumit. Namun semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang di coba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.
Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus jenasah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna.
Sayangnya denyut nadi kehidupan dan budaya masyarakat Buton yang begitu elok, seperti terisolasi dari pengetahuan nasional. Ceritanya hanya bergaung lewat artikel-artikel sederhana dalam koran. Padahal, dengan sedikit polesan tangan terampil, Pulau Buton bisa menjadi surga wisata.(Idh)

Sejarah Kesultanan Buton

sejarah buton

SEKILAS SEJARAH BUTON NEGERI BUTON -"tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa. Gambar Keraton Kesultanan Buton Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu yang di beri nama LAKULEBA pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton. Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat seorang Raja. Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M. Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Namun dari sebuah kitab sejarah yang berjudul Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wadaarul Munajat(Hakikat Asal kejadian Negeri Buton Dan Negeri Muna) nama BUTUNI berasal dari perkataan BATHNIY kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk b. Kerajaan Buton dan Islam Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.____Foto Meriam Benteng Wolio 2. Silsilah Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam. Raja-raja: 1. Rajaputri Wa Kaa Kaa 2. Rajaputri Bulawambona 3. Raja Bataraguru 4. Raja Tuarade 5. Rajamulae 6. Raja Murhum Sultan-sultan: 1. Sultan Murhum (1491-1537 M) 2. Sultan La Tumparasi (1545-1552) 3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M) 4. Sultan La Elangi (1578-1615 M) 5. Sultan La Balawo (1617-1619) 6. Sultan La Buke (1632-1645) 7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M) 8. Sultan La Cila (1647-1654 M) 9. Sultan La Awu (1654-1664 M) 10. Sultan La Simbata (1664-1669 M) 11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M) 12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M) 13. Sultan La Umati (1689-1697 M) 14. Sultan La Dini (1697-1702 M) 15. Sultan La Rabaenga (1702 M) 16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M) 17. Sultan La Ibi (1709-1711 M) 18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M) 19. Sultan Langkariri (1712-1750 M) 20. Sultan La Karambau (1750-1752 M) 21. Sultan Hamim (1752-1759 M) 22. Sultan La Seha (1759-1760 M) 23. Sultan La Karambau (1760-1763 M) 24. Sultan La Jampi (1763-1788 M) 25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M) 26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M) 27. Sultan La Badaru (1799-1823 M) 28. Sultan La Dani (1823-1824 M) 29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M) 30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M) 31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M) 32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M) 33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M) 34. Sultan Muh. Husain (1914 M) 35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M) 36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M) 37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M) 38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M). 3. Periode Pemerintahan Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M. 4. Wilayah Kekuasaan Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi. 5. Struktur Pemerintahan Kekuasasan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari golongan kaomu. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris sultan. 6. Kehidupan Sosial Budaya Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda. Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati). Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional. Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama) Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai. Demikianlah deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah Kesultanan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu. Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya bangunan istana.

0 Buat Ulasan Disini

by titian blog serumpun Iman Insan Islam

ASAL USUL LUKISAN NABI MUHAMMAD Klik Masuk tengok gambar coin emas Bertahun-tahun diterbitkan gambar yang disebut sebagai gambar masa mudanya Nabi Muhammad saw di Iran. Masyarakat Iran di samping menunjukkan rasa suka terhadap gambar itu, mereka juga mempertanyakan keabsahannya. Sebagian menyebutkan bahwa gambar itu dilukis oleh pendeta Buhaira yang sempat mengiringi Nabi Muhammad saw bersama pamannya ke Syam. Pada kenyataannya, banyak yang meragukan jawaban ini. Tulisan berikut ini adalah usaha untuk mencari sumber asli gambar masa muda Nabi Muhammad saw. Para penulis berusaha mengargumentasikan dari mana asal gambar itu. Namun,kelihatannya, masalah ini senantiasa terbuka untuk dijadikan kajian. Tulisan ini adalah hasil terjemahan yang dilakukan oleh Rasul Ja’fariyah dari makalah yang judul aslinya The Story of Picture Shiite Depictions of Muhammad, Pierree Centlivre & Micheline Centlivres-Demont dalam majalah ISIM Review 17, Spring 2006, hal 18-19.Syiah Iran punya pengalaman yang cukup panjang dalam menggambarkan keluarga Nabi Muhammad saw dan Nabi sendiri. Pada akhir-akhir dekade 90 –an poster yang menggambarkan wajah Nabi Muhammad saw di cetak di Iran dan menjadi salah satu poster terlaris. Dalam poster itu menggambarkan wajah masa muda dari Nabi Muhammad saw.Saat ini, poster ini dicetak dengan mempergunakan teknologi modern dengan alat dan teknik yang beragam. Sekalipun demikian, struktur gambar masih mempertahankan gaya tradisionalnya. Warna yang dipakai masih mempertahankan kesederhanaan. Namun, tetap saja memiliki kelebihan yang membedakannya secara mudah dari gambar yang lain seperti pedang Ali as yang memiliki dua mata. Penggambaran yang akan kami bawakan berbeda dengan penggambaran sebelumnya. Gambar seorang pemuda tampan, mata sendu dan wajah yang menenangkan hati mengingatkan orang akan gambar-gambar di zaman Renaisan. Terutama gambar-gambar tentang pemuda yang dilukis oleh Caravagio seperti lukisan Boy Carrying a Fruit Basket yang berada di galeri Borghese, Roma dan lukisan Saint John The Baptist di museum Capitole. Kelembutan bak beludru, mulut yang setengah terbuka dan tatapan sendu. Sekalipun ada beberapa naskah dari gambar ini, namun semuanya menunjukkan kesan muda dan di bawahnya tertulis “Muhammad Rasulullah”, bahkan sebagian memberikan informasi lebih detil tentang periode kehidupan Nabi ketika lukisan ini dilukis serta sumber lukisan sekaligus. Penemuan Menarik Pada tahun 2004, ketika menyaksikan pameran foto dua orang seni rupa Lehnert dan Landrock, secara tidak disengaja akhirnya tersingkap juga sumber poster Iran itu. Itu dapat dilihat di foto Lehnert sepanjang tahun 1904-1906 yang diambilnya di Tunisia. Foto ini kemudian pada dekade 20 –an dicetak dalam kartu ucapan selamat. Radolf Franz Lehnert (1878-1948) adalah warga negara Chekoslowakia sekarang. Pada tahun 1904 bersama Ernst Heinrich Landorck (1878-1966) berkebangsaan Jerman, bersama-sama menuju Tunisia. Lehnert sebagai fotografer dan Landrock sebagai penerbit dan direktur. Tahun sebelumnya, Lehnert pernah tinggal sebentar di Tunisia. Saat itulah ia jatuh cinta dengan alam di sana dan penduduknya. Keduanya membangun perusahaan L & L yang beroperasi di bidang penerbitan foto-foto dari pemandangan indah Tunisia dan Mesir. Hasilnya adalah ribuan foto dan kartu dengan gambar daerah ini yang dicetak.Lehnert pernah mengenyam pendidikan di Yayasan Seni Grafis di Vienna. Ia punya hubungan dengan anggota Pictorialist yang menganggap foto sebagai karya seni. Foto-foto Lehnert tidak saja berbicara mengenai gurun pasir, bukit-bukit pasir, pasar dan kawasan penduduk Tunisia, tapi juga foto-foto dari remaja putra dan putri yang umurnya antara anak dan remaja dan masih memiliki wajah antara laki dan wanita. Foto-foto ini biasanya diambil sesuai dengan pesanan pembeli Eropanya. Foto tentang dunia Timur yang memberikan nuansa lain.Lehnert sangat memanfaatkan kesempatan ini, namun ia juga mengolah kejeniusannya dalam menyiapkan karyanya. Foto-fotonya dicetak dalam bentuk perak, dalam bentuk gambar timbul dan dibuat dalam empat warna. Kebanyakan dari kartu ucapan selamatnya ini dicetak di Jerman sejak tahun 1920 dan disebarkan di Mesir. Cetakan-cetakan dan teks yang sesuai Tidak diragukan bahwa kartu yang ditunjukkan dalam bentuk 1, berdasarkan penomoran L & L, nomornya adalah 106 dikenal dengan poster Iran. Yang lebih menarik nama kartu nomor 106 adalah Muhammad. Ini dengan sendirinya dapat menunjukkan mengapa pelukis Iran menjadikannya sebagai model untuk lukisan Nabi Muhammad saw. Tidak ragu lagi, semua naskah yang ada dari foto ini menjadikan foto nomor 106 sebagai contoh dengan perbedaan bahwa naskah pertama lebih sesuai dengan foto yang asli. Dengan demikian, Lehnert tanpa disengaja ditempatkan dalam hati sebuah legenda. Pertanyaan mengenai hubungan antara wajah Nabi Muhammad saw dan wajah remaja Tunisia belum mendapatkan jawabannya. Lukisan seorang remaja tertawa dengan mulut setengah terbuka, memakai sorban dan bunga melati di telinga. Wajah yang sama dalam kartu yang lain dengan judul Ahmad, seorang remaja Arab dan lain-lainnya. Kami belum mampu menyingkap perjalanan foto yang dicetak di dekade 20 –an yang sampai di tangan penerbit Teheran dan Qom di dekade 90 –an. Namun, masih ada pertanyaan apa yang menyebabkan penerbit Iran menemukan adanya kesamaan antara wajah Nabi Muhammad semasa remajanya dengan seorang remaja Tunisia? Sebelum perang dunia pertama, gambar Muhammad di majalah National Geographic pada bulan Januari tahun 1914 dalam sebuah artikel dengan judul “Inja va Anja Dar Shumal Afriqa” (Di sana dan di sini di Utara Afrika), di bawahnya tertulis “Arabi ba Yek Gol” (Seorang Arab dengan sebuah bunga). Pada dekade dua puluhan, kartu seri Tunisia L & L sangat disukai oleh tentara Prancis di Utara Afrika. Pada dekade 80 dan 90 –an banyak buku yang dicetak yang memuat foto-foto ini, namun judulnya bukan Muhammad. Naskah Iran yang sekarang sudah ada perubahan. Wajah yang menipu itu masih terjaga, namun keindahan wajahnya agak berkurang. Pundak sebelah kirinya agak lebih tertutup dengan kain, mulut dan matanya sudah mengalami perbaikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa seniman Iran berusaha untuk mengurangi sisi keindahan foto Lehnert, sehingga foto itu tidak lagi terlalu menarik dan diberikan tambahan agar terlihat sebagai orang suci. Akar Kristen? Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sebagian tulisan menganggap bahwa hasil karya ini punya hubungan dengan Kristen dan bukan Islam. Masalah ini memberi justifikasi tidak berdosanya seorang muslim melihat wajah Nabi atau melukiskannya. Lebih dari pada itu, orang-orang Kristen menganggap Nabi Muhammad saw sejak mudanya sebagai pribadi yang suci. Kisah pendeta Kristen Katolik atau Ortodoks bernama Buhaira menyimpulkan itu. Berdasarkan kisah itu, pada abad 9 atau 10 Buhaira berusaha mencari Nabi Muhammad saw berdasarkan tanda-tanda yang dimiliki Nabi di antara pundaknya. Nabi akan datang semestinya berkata: “Ketika saya menengok ke langit dan bintang-bintang, saya merasa di atas bintang-bintang”. Ini juga sebuah alasan disebagian gambar Nabi Muhammad saw ada latar belakang bintang-bintang. Sekalipun sampai saat ini tidak ada penggambaran tentang wajah Nabi Muhammad saw di masa mudanya, namun penggambaran itu ada dalam bentuk dewasanya. Disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw memiliki kulit putih, mata hitam, alis yang tebal,gGigi teratur dan rambut bergelombang. Bentuk yang digambarkan itu dapat ditemukan dalam poster Iran. Pada hakikatnya ini adalah sebuah gambar dari sebuah gambar lain. Dengan kata lain, pelukis Iran mengambil model Nabi Muhammad saw yang mencerminkan keindahan, keremajaan dan keserasian ..wallahualam bishawab

Kamis, 07 Oktober 2010

Sejarah Buton yang terabaikan

Mia Patamiana



Mia Patamia adalah sebutan untuk empat orang pemimpin kelompok yang merintis berdirinya Kota Bau-Bau dan Kerajaan Buton. Keempat orang tersebut adalah Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati.

Daftar isi


Sejarah

Dalam sejarah Budaya Buton manusia pertama yang mendiami daerah ini adalah orang-orang sakti dan kedatangannya bertahap dan berkelompok.

Kedatangan Sipanjonga dan Rombongannya

Si Panjonga adalah orang sakti berasal dari suku melayu di negeri Pasai yang meninggalkan asalnya pada tiga likur malam bulan sa’ban tahun 634 Hijriah dengan mengajak Si Tamanajo sebagai pembantu utamanya serta 40 orang kepala keluarga sebagai pengikutnya. Kepergian rombongan besar ini dari negeri asalnya mencari daerah yang telah diberitakan oleh leluhurnya untuk ditempati. Perjalanan itu menghabiskan waktu selama berbulan bulan dengan melintasi daratan dan menyeberangi samudera menggunakan bahtera yang bernama Lakuleba. Di buritan bahtera dikibarkan bendera kerajaan leluhurnya yang berwarna hitam putih selang seling. Dalam bahasa Wolio-Buton bendera ini disebut Longa-Longa. Nama armada yang digunakan oleh Si Panjonga dan pembantu utamanya serta para pengikutnya diabadikan menjadi sebuah nama perkampungan di sebuah desa di kabupaten Buton yang disebut desa Lakaliba.
Pada tahun 1236 M, armada Si Panjonga dan pengikutnya mendarat di salah satu daratan negeri Buton. Sesampai di negeri baru itu mereka mencari sebuah lokasi dataran tinggi untuk membina kaumnya agar mudah melakukan pengawasan serta menjaga kemungkinan serangan musuh. Rombongan manusia besar dan sakti ini membuat benteng pada sebuah bukit yang diberi nama Tobe Tobe. Setelah rampung membuat benteng, mereka kembali mendatangi lokasi pertama terdampar dengan maksud mengibarkan bendera kerajaan leluhurnya. Maka dibuatlan sebuah lubang yang berada di salah satu tempat yang dikelilingi benteng untuk mengibarkan bendera tersebut yang disebut Sulaa. Saat ini tempat tersebut tidak pernah berubah namanya dan diabadikan menjadi sebuah nama kelurahan yaitu Kelurahan Sulaa yang berada di wilayah kecamatan Betoambari. Namun, benteng tempat pengibaran bendera tersebut telah dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa waktu pasca pembuatan benteng dan pengibaran bendera, kehidupan di Tobe Tobe mulai berjalan baik. Si Panjonga meminta kepada pembantu utamanya Si Tamanajo untuk mengajak sebagian pengikutnya untuk mencari daerah baru sebagai tempat tinggal dan mengembangkan keturunannya. Perintah ini disahuti Si Tamanajo dan langsung berpamitan kepada pimpinannya Si Panjonga serta rombongan yang ditinggalkan. Rombongan kecil yang dipimpin Si Tamanajo ini meninggalkan Sulaa menyusuri pantai Buton menuju teluk Bungi Todanga (Sekarang wilayah kecamatan Kapontori Kapontori). Kemudian melanjutkan perjalanan menuju sebuah dataram tinggi yang berada di sebelah Timur Laut dari tempat kediaman pimpinannya Si Panjonga di Tobe Tobe. Karena lokasi tersebut dinilai cukup nyaman, akhirnya Si Tamanajo memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya dan membuat perkampungan serta benteng pertahanan di puncak Gunung yang disebutnya Lambelu dan memberi nama bentengnya Benteng Kamosope.
Benteng tersebut hingga kini masih tetap ada, yang dilengkapi dengan dua pucuk meriam yang posisinya berlawanana arah. Satu pucuk moncongnya mengarah ke Barat dan moncong lainnya mengarah ke sebelah Timur. Setelah perkampungan dan pembuatan benteng selesai, Si Tamanajo memerintahkan kepada rombongannya untuk membuat lubang pengibaran bendera Kerajaan leluhurnya sama dengan yang dikibarkan pimpinannya di Sulaa yaitu bendera Longa Longa.

Kedatangan Armada Si Malui

Kedatangan manusia kedua di negeri Buton disebutkan dalam sejarah budaya Buton adalah manusia sakti bernama Si Malui dan adiknya bernama Si Baana serta pembantu utamanya Si Sajawangkati. Si Malui berasal dari daerah Bumbu negeri Melayu Pariaman, meninggalkan negeri asalnya pada lima belas hari bulan Sya’ban tahun 634 H. Sama seperti Si Panjonga, Si Malui membawa rombongan 40 orang kepala keluarga sebagai pengikutnya. Berbulan bulan lamanya mengarungi lautan dan melewati daratan dengan menumpang sebuah bahtera yang diberi nama Popangua. Di buritan bahtera yang mereka tumpangi dikibarkan bendera kerajaan leluhurnya yang berwarna kuning hitam selang seling dinamai bendera Buncaha.
Rombongan yang dipimpin Si malui terdampar disebelah Utara Timur Laut negeri Buton, hampir bersamaan dengan kedatangan Si Panjonga. Daerah pendaratan pertama di wilayah Kamaru dengan bentengnya yang disebut Wonco. Sama halnya dengan Si Panjonga, Si Malui Juga memerintahkan pembantu utamanya untuk mencari daerah hunian baru. Wilayah yang dikunjungi Si Sajawangkati atas perintah Si malui adalah wilayah yang diberi nama Wasuembu dan langsung mendirikan pemukiman dan benteng pertahanan yang diberi nama benteng Koncu di Wabula. Selanjutnya dibuatlah sebuah lubang untuk mengibarkan bendera di daerah Kamaru.

Berdirinya Kampung Wolio

Kehadiran dua rombongan yang telah menempati 4 wilayah ini pun saling mengenal dan saling mengunjungi. Ketika itu dibuatlah sebuah kesepakatan untuk mengadakan musyawarah yang memutuskan untuk mendirikan perkampungan bersama yang dinamai Batu Yi Gandangi. Ketua Pelaksana Bandar perkampungan adalah Si Panjonga. Hingga saat ini tempat Bandar perkampungan tersebut tetap diabadikan menjadi tempat Makam Pahlawan Ksatria Buton dan Muna yaitu Laki La Ponto alias Murhum Raja Buton VI atau Sultan Buton I di Negeri Buton. Selaku ketua pelaksana Bandar Perkampungan, Si Panjonga berdiri di tengah tengah kerumunan orang banyak sambil berteriak dalam bahasa Wolio dengan ucapan Welia, artinya buatlah Perkampungan (We = buatlah ; Lia = Perkampungan). Ucapan Si Panjonga ini diabadikan menjadi nama wilayah kecamatan Wolio.
Mulai saat itulah Si Panjonga bermukim di Batu Yi Gandangi atau yang saat ini di sebut dengan Lele Mangura, tanpa seorang pendamping atau seorang isteri hingga akhir hayatnya seperti halnya pimpinan rombongan lain yang memiliki anak cucu di Buton. Sejak pembentukan Bandar perkampungan dan diakui keberadaannya masing masing, para ksatria dibebaskan untuk mencari tempat bermukim secara perorangan, yang semula bermukim di Lambelu dan Kamaru. Sebagian mengadu nasib di negeri Muna. Begitu pula dengan yang bermukim di Tobe Tobe telah menuju wilayah Tiworo dan Pulau Kabaena yang merupakan penghuni pertama daerah tersebut hingga saat ini

Sejarah Buton Yang terabaikan



Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu di daerah ini pernah berdiri kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton.
Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sejarah Awal

Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.
Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).
Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.

[sunting] Bidang Politik

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

[sunting] Bidang Hukum

Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton , 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli . Rolan (bicara) 04:57, 26 November 2008 (UTC)

[sunting] Bidang Perekonomian

Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

[sunting] Bidang Pertahanan

Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau-Bau.

[sunting] Raja-raja Buton

  1. Raja ke I Wa Kaa Kaa 1311
  2. Raja ke II Bulawambona
  3. Raja ke III bataraguru
  4. Raja ke IV tua rade
  5. Raja ke V Mulae
  6. Raja ke VI Murhum

[sunting] Sultan-Sultan Buton

  1. Sultan ke-1 Murhum dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis (1491-1537),
  2. Sultan ke-2 La Tumparasi (1545-1552) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  3. Sultan ke-3 La Sangaji (1566-1570) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  4. Sultan ke-4 La Elangi (1578-1615) dengan gelar Sultan Dayanu Iksanuddin,
  5. Sultan ke-5
  6. Sultan ke-6 La Buke
  7. Sultan ke-7
  8. Sultan ke-8
  9. Sultan ke-9 La Awu (1654-1664) dengan gelar Sultan Malik Sirullah,
  10. Sultan ke-10 La Simbata (1664-1669) dengan gelar Sultan Adilil Rakhiya,
  11. Sultan ke-11 La Tangkaraja (1669-1680) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  12. Sultan ke-12 La Tumpamana (1680-1689) dengan gelar Sultan Zainuddin,
  13. Sultan ke-13
  14. Sultan ke-14 La Dini (1697-1704) dengan gelar Sultan Syaifuddin,
  15. Sultan ke-15
  16. Sultan ke-16 La Sadaha (1704-1709) dengan gelar Sultan Syamsuddin,
  17. Sultan ke-17 La Ibi (1709-1711) dengan gelar Sultan Nasraruddin,
  18. Sultan ke-18 La Tumparasi (1711-712) dengan gelar Sultan Muluhiruddin Abdul Rasyid,
  19. Sultan ke-19 La Ngkarieri (1712-1750) dengan gelar Sultan Sakiyuddin Duurul Aalam,
  20. Sultan ke-20 La Karambau (1750-1752)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
  21. Sultan ke-21 Hamim (1752-1759) dengan gelar Sultan Sakiyuddin,
  22. Sultan ke-22 La Seha (1759-1760) dengan gelar Sultan Rafiuddin,
  23. Sultan ke-23 La Karambau (1760-1763)Sultan Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
  24. Sultan ke-24 La Jampi (1763-1788) dengan gelar Sultan Kaimuddin,
  25. Sultan ke-25
  26. Sultan ke-26 La Kaporu (1791-1799) dengan gelar Sultan Muhuyuddien Abdul Gafur,
  27. Sultan ke-27 La Badaru (1799-1822) dengan gelar Sultan Dayanu Asraruddin